Waspada Teroris, Modus Baru Merekrut Sejak Usia Dini

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 21 November 2025 | 06:00 WIB
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)

Catatan Densus 88 Antiteror Polri menyebutkan selama tahun 2025 ada 110 anak direkrut oleh kelompok radikal jaringan terorisme.  Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya.

SinPo.id -  Detasemen khusus (Densus) 88 Antiteror menangkap lima perekrut anak dan pelajar untuk bergabung ke jaringan terorisme. Mereka ditangkap di sejumlah wilayah di dalam rangkaian operasi sejak akhir Desember 2024 hingga Senin, 17 November 2025.  sedangkan dalam kurun 2025, setidaknya da 110 anak direkrut oleh kelompok radikal jaringan terorisme melalui media sosial hingga melalui game online.

"Selama setahun lima pelaku ditangkap di wilayah berbeda untuk merekrut ke jaringan teroris," kata kepala biro penerangan Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Selasa, 18 November 2025.

Truno menyebut lima pelaku yang ditangkap berinisial FW alias YT berusia 47 tahun asal di Medan, Sumatera Utara, ditangkap pada 5 Februari 2025. LM  23 tahun  asal Kabupaten Bangai, Sulawesi Tengah ditangkap pada 22 September 2025. 

"Lalu pelaku PP alias BMS 37 tahun asal Sleman, DIY ditangkap pada 22 September 2025, MPSO  tahun asal Tegal, Jawa Tengah ditangkap pada 17 November. Dan ZZS alias BS  tahun 19 asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat ditangkap pada 17 November 2025,” ujar Truno menjelaskan.

Menurut Truno, modus para pelaku memanfaatkan media sosial untuk merekrut para pelajar. Mereka menyebarkan propaganda memanfaatkan ruang digital, mulai dari media sosial, game online, aplikasi pesan hingga situs tertutup.

Ketika menemukan target potensial, korban akan dihubungi secara pripadi atau di japri melalui media sosial secara tertutup. Hal ini untuk mengalabuhi deteksi dari petugas siber. "Melalui platform yang lebih tertutup seperti WhatsApp atau Telegram,"  katanya.

Sasar Korban Bullying

Catatan Densus 88 Antiteror Polri menyebutkan selama tahun 2025 ada 110 anak direkrut oleh kelompok radikal jaringan terorisme. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Jika dibandingkan sepanjang tahun 2011 hingga 2017 lebih dari 17 anak diamankan terkait aksi teror. Namun pada tahun 2025 terus meninggkat .

"Di tahun 2025 sendiri, kurang lebih lebih dari 110 anak yang saat ini sedang teridentifikasi jaringan terorisme," kata Juru Bicara Densus 88 AKB, Mayndra Eka Wardhana.

Mayndra mengidentifikasi target perekrutan anak-anak itu dilakukan secara masif melalui media sosial hingga melalui game online antara usia 10 hingga 18 tahun mayoritas tersebar di 23 provinsi di Indonesia. "Anak-anak yang memiliki usia antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,"  ujar Mayndra.

Sedangkan kepala biro penerangan humas  Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, perekrutan juga menggunakan propaganda terselubung berbagi konten dekat dengan dunia anak-anak yang bermasalah, seperti anak-anak yang kerap menjadi korban bullying.

"Video pendek, animasi, meme, bahkan musik dijadikan alat untuk menarik perhatian. Mereka memanfaatkan rasa ingin tahu, kondisi bullying, broken home, hingga pencarian jati diri anak-anak untuk direkrut ke jaringan mereka," kata Trunoyudo.

Tak hanya itu perekrutan secara sistematis dengan tahapan penyebaran faham radikal dimulai dari platform umum seperti Facebook, Instagram, dan gim online kemudian berlanjut ke komunikasi pribadi.

"Platform digital menjadi pintu masuk utama. Mereka memulai dari ruang terbuka seperti media sosial dan gim online, lalu menarik korban ke komunikasi pribadi untuk membangun kedekatan emosional sebelum menanamkan ideologi," ujar Trunoyudo menjelaskan.

Ancaman Keamanan Nasional

Perekrutan masih di kalangan anak untuk kegiatan teroris dan ideologi radikal itu menjadi keresahan kalangan anggota dewan perwakilan rakyat di Senayan. Apalagi ada laporan perekrutan oleh mantan narapidana terorisme yang merekrut anak-anak melalui Medsos untuk merencanakan aksi teror di Gedung DPR. Hal itu indikasi serius meningkatnya kompleksitas ancaman keamanan nasional di era digital.

"Fenomena ini mencerminkan bagaimana kelompok radikal kini memanfaatkan teknologi untuk menyusup ke ruang-ruang privat dan membentuk narasi kekerasan yang menyasar generasi muda," kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, saat dihubungi SinPo.id, Rabu, 19 November 2025.

Selain itu Dave menilai perekrutan melibatkan anak itu juga menyangkut masa depan bangsa yang harus kita jaga bersama. Salah satunya pengawasan digital perlu disertai pendekatan edukatif yang menyentuh akar masalah.

Sehingga pemerintah perlu memperluas literasi digital, terutama bagi remaja dan keluarga, guna membangun ketahanan terhadap konten manipulatif dan ideologi ekstrem.

"Platform digital juga dituntut lebih bertanggung jawab dalam menegakkan standar komunitas dan memperkuat deteksi dini terhadap konten berbahaya," ujar Dave menambahkan.

Dave juga mengatakan perlunya mekanisme pelaporan yang mudah diakses serta peningkatan kapasitas aparat dalam merespons ancaman siber secara efektif.

“Termasuk dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil,” kata Dave menjelaskan.

Sementara itu Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terus memfilter konten-konten penyebaran faham radikalisme dan terorisme di ruang digital. Jumlah terbanyak konten berbaya ditake down dan diblokir yaitu di platform Meta, Google, TikTok, dan Instagram.

"Konten radikal dan terorisme itu terbesar ada di platform Meta, Google, TikTok, X, Telegram, file sharing, Snack Video, dan ada 10 situs juga kita tindak lanjut dan ditake down," kata Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar.

Lembaganya juga terus berkoordinasi dengan instansi terkait mengawasi konten-konten berbahaya tersebut. Koordinasi untuk menentukan apakah konten itu harus diblokir atau dilakukan tindakan penegakan hukum.

"Sebelum kita melakukan tindakan take down atau akses pemblokiran situs. Kita ada proses verifikasi yang kita lakukan dengan pihak terkait," ujar Alexander menambahkan.

Ia memastikan take down dan pemblokiran konten-konten berbahaya di ruang digital itu dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, tanpa melanggar unsur-unsur lainnya. "Tindakan yang kita lakukan berdasarkan legalitas, berdasarkan sesuai dengan hukum," katanya.

Komdigi telah menangani 8.320 konten bermuatan radikalisme dan terorisme dalam satu tahun terakhir. Jumlah itu ditangani berdasarkan patroli siber hingga pengaduan. Dari ribuan konten tersebut, sebagian besar merupakan laporan dari kementerian dan lembaga seperti Densus 88 Antiteror Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hingga TNI. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyarankan pemerintah harus punya komitmen memberangus jaringan tersebut agar dampak buruk terhadap anak-anak tak meluas. Langkah itu dilakukan selain penegakan hukum para kelompok yang melakukan praktik rekrutmen jaringan terorisme di ruang digital.

"Upaya penegakan hukum yang dilakukan tidak hanya mencegah meluasnya dampak buruk bagi anak-anak, tetapi juga menunjukkan komitmen kuat negara dalam melindungi anak dari ancaman radikalisasi dan kekerasan," kata Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah kepada SinPo.id, Kamis, 20 November 2025.

Margaret menyebut kasus anak dalam jaringan terorisme harus menjadi perhatian khusus semua stakeholder terkait. Untuk itu, pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan aparat penegak hukum harus bekerja bersama-sama untuk memastikan keselamatan anak di ruang digital.

"Harus bekerja bersama-sama, ruang digital harus menjadi ruang yang aman, ramah anak, dan bebas dari ancaman eksploitasi,"  kata Margaret menegaskan.

Selain itu ia menilai meningkatnya kasus eksploitasi anak, menunjukkan bahwa peran orang tua dan keluarga sebagai support system utama belum berjalan optimal. Sehingga keluarga perlu diperkuat, terutama dalam hal pendampingan dan pengawasan aktivitas anak baik di dunia nyata maupun dunia siber.

KPAI juga mendorong perlunya regulasi untuk melakukan take down terhadap konten, platform, dan game yang berbahaya terhadapa anak-anak. Termasuk undang-undang dan peraturan yang ada harus diimplementasikan oleh pemerintah.

"Kami mendukung penuh penguatan regulasi yang memungkinkan pemerintah melakukan take down terhadap konten, platform, atau game yang membahayakan anak,"  katanya.

Keluarga Benteng Sejak Dini

KPAI juga menyarankan tiga langkah keluarga agar anak terhindar dari praktik rekrutmen jaringan terorisme di ruang digital. Pertama, keluarga harus membangun komunikasi yang terbuka dan penuh kepercayaan agar anak merasa aman bercerita tentang apa yang ia lihat di internet.

"Langkah kedua, keluarga mengawasi grup-grup pertemanan anak di media sosial, memastikan bahwa grup itu benar-benar terkait dengan kegiatan keluarga, sekolah, atau aktivitas belajar," Margaret.  

Sedangkan langkah ketiga, perlunya keluarga rutin mengecek gadget anak secara berkala, termasuk jejak percakapan, aplikasi, dan riwayat pencarian di internet. "Dengan pendekatan ini, tetap menghormati hak anak, tetapi memberikan perlindungan yang memadai," kata Margaret menjelaskan. (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI