Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto Bentuk Kebijaksanaan dan Kedewasaan Bangsa

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 09 November 2025 | 00:32 WIB
Presiden ke-2 RI Soeharto. (SinPo.id/Getty Images)
Presiden ke-2 RI Soeharto. (SinPo.id/Getty Images)

SinPo.id -  Ketua Umum Ikatan Keluarga Pesisir Selatan (IKPS) Kota Lubuklinggau, yang juga akademisi perguruan tinggi swasta, Azizil Fikri, angkat bicara menanggapi polemik pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait ketidaksetujuannya terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Azizil menilai, pernyataan Megawati dalam forum Seminar Internasional Peringatan 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika di Blitar, Jawa Timur, pada 1 November 2025, yang menyinggung pengalaman pribadi keluarga Bung Karno di era Orde Baru, memang menyentuh ranah emosional yang sensitif. Namun, bangsa ini perlu menyikapinya, dengan kebijaksanaan dan kedewasaan sejarah.

"Kami memahami bahwa sejarah bangsa ini menyimpan luka dan kompleksitas emosional. Namun sudah sepatutnya kita semua menunjukkan empati tanpa harus membuka kembali luka lama," ujar Azizil Fikri dalam keterangannya, Sabtu, 8 November 2025. 

Menurut Azizil, penting bagi publik untuk menaruh apresiasi dan empati terhadap semua keluarga besar tokoh bangsa, baik dari masa kepemimpinan Soekarno maupun Soeharto, atas pengorbanan mereka terhadap negara.

"Ruang publik seharusnya menjadi tempat untuk memperkuat pemahaman sejarah, bukan memperuncing perbedaan emosional. Isu yang menyentuh perasaan pribadi para keluarga tokoh bangsa perlu dibicarakan dengan kehati-hatian," imbuhnya.

Azizil menekankan, penghargaan terhadap jasa seorang tokoh bangsa harus dilakukan secara objektif dan utuh, tanpa dikotomi antara era kepemimpinan yang satu dan lainnya.

"Indonesia berdiri di atas fondasi perjuangan kolektif. Tak dapat dimungkiri, setiap pemimpin memiliki jasa dan kontribusi yang nyata bagi bangsa, termasuk Pak Harto yang memimpin selama puluhan tahun dan menorehkan capaian besar dalam bidang pembangunan dan stabilitas nasional," jelasnya.

Azizil menilai, kedewasaan sebuah bangsa tercermin dari kemampuannya berdamai dengan masa lalu. Ia mengajak semua pihak untuk menempatkan semangat rekonsiliasi di atas rivalitas politik dan luka sejarah.

"Indonesia adalah negara damai. Kita tidak boleh mewariskan dendam antar generasi hanya karena perbedaan pandangan sejarah antar elite. Sudah saatnya kita mengambil pelajaran dari masa lalu dan melangkah bersama membangun masa depan," tegasnya.

Lebih jauh, Azizil juga menyoroti pentingnya peran partai politik dalam menanamkan semangat perdamaian dan persatuan, bukan memperlebar jarak perbedaan.

"Kami percaya tidak ada partai yang mengajarkan kebencian. Semua partai membawa visi persatuan dan kebaikan bagi bangsa. Karena itu, elite politik harus menunjukkan kedewasaan dengan mengedepankan narasi rekonsiliasi, bukan trauma masa lalu," tuturnya.

Azizil menilai, perdebatan seputar gelar pahlawan nasional seharusnya dijadikan momentum untuk menguatkan konsensus kebangsaan, bukan sebaliknya.

"Mari kita jaga semangat Bhinneka Tunggal Ika dengan arif dan proporsional. Menghormati jasa setiap pemimpin berarti menjaga warisan bangsa agar tetap utuh, tidak terpecah oleh perbedaan sejarah maupun politik dan penganugerahan ini jadi momentum kebangsaan," pungkasnya.

 

TAG:
Soeharto
BERITALAINNYA
BERITATERKINI