Dukung Gelar Pahlawan Soeharto, Akademisi: Ini Jadi Simbol Kebesaran Bangsa
SinPo.id - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Syurya M Nur menilai, sikap Megawati Soekarnoputri yang melalui PDIP menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya. Sebagai mantan presiden dan tokoh nasional, semestinya menampilkan sikap kenegarawanan yang menjadi contoh bagi seluruh rakyat.
"Ibu Mega sebagai mantan Presiden seharusnya menunjukkan sikap kenegarawan yang menjadi panutan. Bangsa ini adalah bangsa yang penuh rasa - termasuk rasa maaf yang seharusnya dicontohkan dari para pemimpinnya," ujar Syurya kepada Wartawan, Sabtu, 8 November 2025.
Menurut Syurya, bila penolakan tersebut berakar pada pengalaman keluarga Soekarno di masa lalu, keputusan itu justru berisiko menumbuhkan politik dendam yang dapat menghambat agenda rekonsiliasi nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto.
"Pak Prabowo saya kira tidak akan marah atau dendam. Tapi kalau semangat rekonsiliasi yang digagas beliau diganggu, itu bisa mengacaukan program besar menuju kolaborasi nasional. PDIP ini partai besar, punya pengaruh luas di daerah," kata Syurya.
Bagi Syurya, banyak pemimpin masa lalu yang bisa menjadi contoh bagaimana berdamai dengan sejarah tanpa menghapus sikap kritis terhadap masa lalu. Ia menyebut nama Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan Prabowo Subianto sebagai teladan.
"Para pendahulu seperti Gus Dur dan Taufiq Kiemas sudah selesai dengan masa lalu. Mereka menunjukkan bahwa politik kita seharusnya politik cinta damai, cinta kasih, dan welas asih. Rakyat jangan terus disuguhi narasi dendam," ujarnya.
Syurya juga menyoroti banyaknya jasa Soeharto di bidang pembangunan nasional yang semestinya tidak dipandang sebelah. Penilaian sejarah harus dilakukan secara adil.
"Kita harus fair. Jasa Soeharto di bidang pembangunan, pangan, dan stabilitas nasional tidak bisa dihapus hanya karena kontroversi politik. Kita tahu ada dinamika, tapi itu sudah selesai. Sekarang tugas kita melanjutkan hal-hal baik dari masa itu," ungkapnya.
Syurya beranggapan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto justru bisa menjadi simbol kebesaran bangsa.
"Itu bukti bahwa Indonesia mampu mengakui jasa siapa pun tanpa membawa dendam sejarah. Narasi dendam harus dihapus oleh para elit politik," katanya.
Lebih lanjut, ia berpesan agar para pemimpin bangsa berhenti memproduksi narasi yang memecah belah dan lebih mengedepankan komunikasi politik yang sejuk.
"Saya heran, kenapa para elite suka sekali membangun narasi dendaman. Sebagai pemimpin, mereka seharusnya memberi contoh bagi rakyat, dengan komunikasi yang baik, menyejukkan, dan membangun persaudaraan," tukasnya
