Ekonom: Naiknya Harga Ayam Tak Ada Hubungan dengan MBG

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 05 Oktober 2025 | 18:58 WIB
Ilustrasi pedagang melayani pembeli daging ayam (SinPo.id/Ashar)
Ilustrasi pedagang melayani pembeli daging ayam (SinPo.id/Ashar)

SinPo.id - Ekonom EVIDENT Institute Rinatania Anggraeni Fajriani mengatakan, naiknya harga daging ayam di pasaran, tak ada hubungannya dengan program makan bergizi gratis (MBG) 

Hal itu disampaikan sebagai bantahan terhadap lembaga riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang menuding dapur umum MBG mendorong harga daging ayam naik dan menyingkirkan pedagang kecil.

"Sulit menyimpulkan MBG sebagai satu-satunya pendorong utama kenaikan harga daging ayam nasional tanpa faktor lain yang lebih besar," kata Rinatania dalam keterangannya, Minggu, 5 Oktober 2025 

Menurutnya, faktor utama yang mendorong naiknya harga ayam justru berasal dari peningkatan biaya pakan, diikuti sejumlah faktor struktural lain di sektor peternakan.

Dia menilai, skala permintaan daging ayam dari MBG masih terlalu kecil untuk mengguncang harga pangan nasional. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), kebutuhan daging ayam untuk MBG pada 2025, diperkirakan mencapai sekitar 70 ribu ton, sementara total proyeksi produksi nasional mencapai 3,8 juta ton. Artinya, serapan MBG terhadap produksi nasional kurang lebih hanya 1,8 persen.

Dan, biaya bahan baku pakan, terutama jagung bungkil kedelai, menjadi komponen terbesar dalam menentukan harga pokok produksi ayam ras pedaging. Selain itu, faktor seperti sarana produksi ternak, biaya logistik, penyakit unggas, dan panjang rantai distribusi turut memengaruhi harga di pasar domestik.

Berbagai kajian akademik menunjukkan, kenaikan harga jagung secara signifikan menaikkan biaya produksi, menekan margin peternak, dan akhirnya mendorong kenaikan harga daging ayam.

"Menyalahkan MBG dan mengabaikan siklus harga pakan ibarat menyalahkan barista atas kenaikan harga kopi di coffee shop ketika harga biji kopi dunia sedang naik," tegasnya.

Selain faktor pakan, sejumlah penyebab lain seperti volatilitas harga akibat musim, sarana produksi ternak (sapronak), biaya logistik, penyakit unggas, serta panjangnya rantai distribusi, juga memengaruhi fluktuasi harga daging ayam di pasar domestik.

Untuk itu, kritikan terhadap MBG seharusnya diarahkan pada aspek implementasi, bukan keberadaan programnya. Kendati demikian,  ia sependapat dengan kajian CELIOS bahwa pengadaan bahan pangan untuk MBG perlu dirancang supaya tidak hanya menguntungkan pedagang besar, tetapi juga membuka akses bagi koperasi, UMKM, dan pasar lokal.

"Tetapi, menghentikan MBG adalah solusi mudah yang tidak solutif. Alih-alih, MBG dapat level the playing field dengan membuka akses supply SPPG (satuan pelayanan pemenuhan gizi) kepada koperasi, UMKM, dan pasar lokal. Dengan desain inklusif, MBG justru dapat berkontribusi terhadap kestabilan permintaan pasar, mengurangi volatilitas harga, dan memperkuat ekosistem pangan nasional," ucapnya.

Lagi pula, lanjut Rinatania, persoalan  mahalnya daging ayam bukanlah hal baru. Karena biaya pakan, logistik, dan faktor musiman telah lama menjadi faktor dominan. Namun, analisis publik tidak boleh berhenti pada narasi sederhana bahwa program MBG menyebabkan kenaikan harga.

"Jika analisis publik berhenti pada narasi sederhana 'MBG bikin harga naik' kita justru gagal melihat urgensi perbaikan mendasar untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI