Memburu Raja Minyak Riza Khalid

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 26 September 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)

Penerbitan red notice menjadi bagian upaya serius mengejar buronan korupsi yang melarikan diri ke luar negeri.  

SinPo.id -  Kepolisian Republik Indonesia telah menerbitkan red notice terhadap Muhammad Riza Cahlid sebagai  buronan kasus korupsi minyak. Red notice juga telah diajukan pekan lalu, kini hanya menunggu tindak lanjut dari Interpol Lyon, Prancis.

“Pengajuan sudah masuk ke Interpol Lyon. Saat ini tinggal menunggu proses tindak lanjut. Sejauh ini tidak ada kendala, hanya memang butuh waktu karena baru dua hari kerja sejak diajukan,” ujar Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Untung Widyatmoko, awal pekan 22 September 2025.

Red notice merupakan permintaan dari Interpol kepada seluruh negara anggota untuk membantu melacak dan menangkap buronan internasional oleh aparat hukum di negara asalnya. Red notice diterbitkan secara resmi oleh Sekretariat Jenderal Interpol di Lyon, Prancis, setelah menerima dan memverifikasi permohonan dari negara anggota.

Catatan kepolisian menyebutkan, permohonan red notice Riza Chalid diajukan pada Kamis 18 September 2025, kemudian diproses sehari berikutnya Jumat 19 September 2025, sehingga menunggu konfirmasi resmi dari Interpol.

Langkah penerbitan red notice ini menjadi bagian upaya serius mengejar buronan korupsi yang melarikan diri ke luar negeri.  Sedangkan pemburuan Riza Chalid diperlukan kerja sama internasional agar proses hukum tidak terhambat. Selain mengeluarkan Red Notice, kepolisian juga berkomunikasi dengan Interpol Malaysia dan Atase Polri pada KBRI Kuala Lumpur terkait dugaan keberadaan Riza Chalid  di negara tersebut.

“Ya mungkin seperti itu, karena lintasan terakhirnya di sana,” ujar Untung.

Riza Chalid merupakan seorang pengusaha Indonesia yang berbisnis di sejumlah sektor, mulai dari ritel mode, perkebunan sawit, industri minuman, hingga perdagangan minyak bumi. Bahkan dominasinya impor minyak membuat ia dijuluki 'Saudagar Minyak' atau 'The Gasoline Godfather'.

Melibatkan Sang Anak Mengatur Kuota Impor

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengatakan, Riza Chalid telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi  dalam kapasitasnya selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal Merak (OTM).  Riza Chalid dinilai terlibat dengan tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 hingga 2023.

"Dari hasil penyidikan tim penyidik menyimpulkan telah diperoleh alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka," kata Abdul Qohar, Kamis 10 Juli 2025 lalu.

Kejagung menyebut total kerugian kuasa negara dalam perkara korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun, berupa  kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun. Selain itu kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Riza Chalid bersama  sembilan tersangka lainnya masing-maisng, inisial  AN selaku VP Supply dan Distribusi PT Pertamina 2011-2015, HB selaku Direktur Pemasaran & Niaga PT Pertamina 2014, TN selaku SVP Integrated Supply Chain 2017-2018, DS selaku VP Crude and Product PT Pertamina 2018-2020.

Selain iyu HW selaku Mantan SVP Integrated Supply Chain, AS selaku Direktur Gas, Pertochemical & New Business PT Pertamina International Shipping, MH selaku Senior Manager PT Trafigura, dan IP selaku Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi.

"Masing-masing tersangka tersebut telah melakukan berbagai penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara," ujar Qohar menambahkan.

Bahkan hasil penelurusan Kejagung menunjukkan korupsi Riza Chalid melibatkan putra kandungnya bernama Muhammad Kerry Andrianto Riza atau MKAR. Kerry  juga telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kapasitasnya sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa.

Kerry dinlilai punya peran besar dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Tahun 2018 hingga 2023.

Jampidsus Kejaksaan Agung menyebut Kerry adalah Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, broker pemenang tender pengadaan impor minyak mentah. Kerry bersama dua tersangka lain dari pihak swasta diduga menyepakati harga tinggi dengan sebelum tender dilaksanakan.

Kesepakatan harga yang terjadi pada periode tahun 2018 hingga 2023 itu justru terjadi  saat aturan dari Menteri ESDM yang mengharuskan adanya pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Hal itu mengacu Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

“PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi,” tulis aturan itu.

Namun  RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock, dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional mengkondisian lewat rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. Kemudian, pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis.

“Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri,” tulis laporan Jampidsus.

Minyak bagian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau KKKS swasta wajib ditawarkan kepada PT Pertamina. Apabila penawaran tersebut ditolak oleh PT Pertamina, maka penolakan tersebut digunakan untuk mengajukan rekomendasi ekspor.

Namun  subholding Pertamina, yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), diduga berusaha menghindari kesepakatan.  Dalam periode tersebut juga terdapat Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara (MMKBN) yang diekspor karena terjadi pengurangan kapasitas intake produksi kilang lantaran pandemi COVID-19.

Pada saat bersamaan PT Pertamina malah mengimpor minyak mentah untuk memenuhi intake produksi kilang. Nilai kerugian keuangan negara imbas kasus dugaan korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun.

Kerugian tersebut berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

Penghitungan sementara Kejaksaan Agung menunjukkan nilai kerugian keuangan negara imbas kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 hingga 2023 mencapai Rp193,7 triliun.

“Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar.

Kerugian tersebut berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi. (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI