Bukan Masalah Stok, Ombudsman Temukan Harga Beras Mahal karena Tata Kelola
SinPo.id - Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan bahwa masalah kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kekurangan stok, melainkan tata kelola perberasan yang tidak optimal.
Ombudsman, sejak Agustus 2025, telah melakukan pemantauan di Karawang, Pasar Induk Beras Cipinang, 137ritel tradisional di 25 provinsi dan ritel modern di Jabodetabek.
"Hasil pemantauan menunjukkan pasokan gabah ke penggilingan padi menurun, sementara dari 35 ritel modern yang dipantau di wilayah Jabodetabek, 8 di antaranya tidak memiliki stok beras untuk dijual," kata Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya, Jumat, 5 September 2025.
Yeka menguraikan, harga beras premium tercatat mulai Rp14.700 per kilogram (Kg) hingga Rp32.400 per Kg, sedangkan beras non-premium dijual Rp21.000-Rp37.500 per Kg. Beras operasi pasar SPHP tersedia di harga Rp12.500 per Kg, namun kualitas dan mutunya kerap dikeluhkan masyarakat.
Ombudsman juga mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan. Dari total stok Bulog 3,9 juta ton, terdapat lebih dari 1,2 juta ton beras berumur lebih dari enam bulan.
"Kondisi ini berpotensi menimbulkandisposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," ungkapnya.
Ia menambahkan, realisasi penyaluran SPHP baru mencapai 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian hanya 2.392 ton. Jauh di bawah kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.
Yeka juga menyoroti realisasi bantuan pangan baru 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024.
Menurutnya, baik SPHP maupun bantuan pangan belum mampu menekan harga beras yang secara umum masih di atas HET. Kondisi tersebut memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabahany quality, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah.
"Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun," tuturnya.
Menurut Yeka, kondisi ini membuka ruang terjadinya maladministrasi. Potensi maladministrasi yang menonjol meliputi risikodisposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan ketersediaan beras di ritel modern, harga beras yang tetap di atas HET, serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.
"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujarnya.
Untuk itu, Ombudsman memberikan catatan kepada pemerintah agar segera memperkuat operasi pasar SPHP dengan jaminan kualitas, mendorong Satgas Pangan mengevaluasi distribusi, memberikan iklim usaha yang nyaman dan melibatkan pelaku usaha secara transparan.
Ombudsman juga mendorong pemerintah memastikan bantuan pangan untuk masyarakat miskin disalurkan hingga Desember 2025.
"Karena ada potensi-potensi kerugian negara, maka sebaiknya Presiden Republik Indonesia menugaskan BPKP melakukan evaluasi menyeluruh agar tata kelola pangan lebih akuntabel dan pembagian peran antarinstansi menjadi lebih jelas. Ombudsman akan melakukan investigasi lebih lanjut terkait tata kelola cadangan beras pemerintah yang ada saat ini," tukasnya.
