Anak Muda Diimbau Jangan Takut Jadi Pembela Lingkungan

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 24 Agustus 2025 | 06:59 WIB
Anak Muda
Anak Muda

SinPo.id -  Ancaman terhadap aktivitas maupun pembela lingkungan di Indonesia masih menjadi momok yang menakutkan di tengah masyarakat. Sebab, angka kasusnya mencapai ratusan, yang tercatat. Namun, anak-anak muda jangan takut menjadi pembela lingkungan hidup. 

Hal tersebut disampaikan Rahma Sofiana alias Ana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia dalam acara Local Conference of Children and Youth (LCOY) Indonesia 2025 digelar Climate Rangers Jakarta, Sabtu, 23 Agustus 2025. 

Ana memaparkan sejumlah data yang dikumpulkan oleh koalisi masyarakat sipil, seperti Konsorsium Pembaharuan Agraria, Walhi, dan Auriga Nusantara. Dalam 10 tahun terakhir (2014-2024), tercatat sekitar 133 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia. 

"(133 kasus) Itu yang tercatat atau yang terlapor. Sementara kalau datanya Walhi yang mencatat, lebih dari itu. Jadi yang tidak terlapor, tidak tercatat, yang tidak muncul di media, itu ada sekitar 827 (kasus)," kata Ana.

Ana merincikan, jenis kasus-kasus yang dialami oleh pembela lingkungan hidup beragam. Mulai dari intimidasi, ancaman pembunuhan, perusakan properti, doxing, kekerasan, bahkan pembunuhan. 

"Secara global, global wellness ini juga mencatat bahwa hingga tahun 2022 setidaknya ada 1. 910 kasus pembunuhan terhadap pembela lingkungan di dunia," paparnya. 

Di Indonesia potret bagaimana perlakuan atau perlindungan negara terhadap aktivis atau komunitas pembela lingkungan, sangat banyak contohnya. Seperti kasus Haris-Fatia yang menyebutkan keterlibatan militer di bisnis Tanah Papua, kasus Daniel Frits di Karimun Jawa menolak tambak udang ilegal, Abah Nateh meninggal akibat ditusuk di Kalimantan Selatan karena menolak tambang. 

Lalu, ada kasus Budi Pego, aktivis antitambang emas di Banyuwangi, dugaan kriminalisasi terhadap Guru Besar IPB Prof. Bambang Hero Saharjo yang menjadi saksi ahli dalam kasus korupsi timah. 

"Ini menunjukan betapa lemahnya Pelindungan hukum dan engargi terhadap aktivis atau komunitas pembela lingkungan. Dari kasus yang saya sebutkan ini baru segelintir. Jadi secara pembagian, 60 kasus diantaranya terkait dengan industri extraktif ada tambang batu bara, nikel, timah, bouxit, lalu juga perusahaan sawit," paparnya. 

Di sisi lain, Ana mengaku bersyukur, kini sudah ada Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 10 tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang Yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat. Namun, aturan tersebut terkadang lemah pada pelaksanaan dilapangan 

"Indonesia itu kan gak kurang peraturan, banyak banget. Tapi bagaimana dia ditegakkan dilapangan, itu yang masih sangat lemah dan ini perlu kita dorong. Salah satu yang menjadi ketakutan ketika kita bersuara lantang membela lingkungan, yang paling gampang kalau sekarang itu ya di buka data pribadinya di dunia maya melalui doxing, KTP-nya di upload, rumah keluarganya di foto dan sebagainya," ungkapnya. 

Kendati demikian, Ana mengimbau anak-anak muda agar tidak takut untuk memperjuangkan lingkungan yang sehat. Karena, secara instrumen hukum, kebebasan berpendapat, berunjuk rasa, dijamin UUD 1945 dalam Pasal 28E Aya5 (3) yang berbunyi, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Serta diperkuat oleh UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Meyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU 39/199 tentang HAM, yang mengatur bahwa kebebasan berpendapat harus dilaksanakan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum. 

"Tapi jangan takut, anak-anak muda jangan takut untuk bersuara untuk membela lingkungan. Saya selalu menganalogikan begini, perjuangan-perjuangan kecil itu kalau nggak bisa policy reform, kebijakan reformasi, minimal bikin gerah, bikin meraka aduh kenapa nih publik marah. Ini kenapa Save Raja Ampat dimana-mana nih. Minimal bikin gerah. Karena kalau ada sesuatu yang tidak beres membuat government kita move, itu berarti kita push the right button," kata Ana. 

Di tempat yang sama, anggota Catalyst of Change ASEAN Seruni Salsabila menyoroti bahwa pemuda dan masyarakat adat masih sangat minim dilibatkan oleh pemerintah dalam program-program yang menyangkut iklim dan lingkungan. Padahal, khususnya masyarakat adat, mereka yang paling memahami kondisi daerahnya masing-masing. 

"Masyarakat adat yang lebih mengenal dan bisa co exite secara harmonis dengan alam dan menghormati itu. Dan kita juga berada di embrace yang sangat penting untuk menentukan apakah humanty will continue atau kita tetap be try all selp gitu dan ini merupakan embrace yang sangat penting," kata Cuni, sapaan akrab. 

Selain itu, Cuni juga menilai, semestinya pemuda diikutsertakan sejak proses pengembalian keputusan (decision making process) dalam sebuah kebijakan. Jika membuat  kebijakan, konsultasi di daerah-daerah,  mengikut sertakan NGO, sipil society, sangat penting dilakukan. 

"Terus yang kedua distributif justice bahwa manfaat di program ini ya memang dirasakan bersama dan juga mengikut sertakan komunitas sesama masyarakat adat, yang mungkin mereka mengenal baik dengan alam, tradisinya seperti apa. Aku tuh ngeliatnya keren lho Indigenous knowledge (pengetahuan masyarakat adat) kalau disatuin dengan teknologi kita sekarang itu bakal keren banget, mungkin itu masih kurang," ucapnya. 

"Terakhir, itu recognition justice. Jadi acknowledge pemuda itu bukan benefit, bukan penerima, tapi we are codesainers, we are also yah banyaklah, cobenefit itu just one of the part, tapi yang penting itu kita itu save everything. Karena ujung-ujungnya kita yang akan merasakan," tukasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI