Menanti Rencana Aksi Nasional Melawan TPPO
Kementerian P2MI menyelamatkan 4.822 calon pekerja migran Indonesia yang sebelumnya diberangkatkan secara illegal.
SinPo.id - Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 2025-2029 sangat mendesak, mengingat kasus perdagangan orang kian mengkhawatirkan. Sejumlah catatan menunjukkan korban tindak pidana itu terus meningkat akibat lemahnya pengawasan, minimnya koordinasi antar-lembaga hingga tak optimal perlindungan terhadap korban.
Salah satu dorongan RAN -TPPO disampaikan anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Johanes Widijantoro yang meminta pemerintah segera menetapkan RAN TPPO 2025-2029. "Temuan Ombudsman menunjukkan lemahnya pengawasan, minimnya koordinasi antar-lembaga, dan tidak optimalnya perlindungan terhadap korban," kata Johanes Widijantoro, Senin, 18 Agustus 2025.
Data kajian Ombudsman mencatat lonjakan signifikan kasus TPPO sejak Januari hingga Maret 2025, yang ditangani Polri mencapai 609 kasus dengan 1.503 korban. Jumlah itu sudah melampaui separuh jumlah korban sepanjang 2024, yakni 2.179 korban dari 843 kasus dengan 1.090 tersangka.
"Tren ini membuktikan bahwa ketika kebijakan dan aksi lapangan terlambat, korban akan terus bertambah," ujar Johanes menambahkan.
Menurut Johanes, target RAN TPPO 2025-2029 memprioritaskan perlindungan warga negara secara jelas, realistis, dan terukur. Sedangkan Polri selaku Ketua Gugus Tugas TPPO juga diminta menginisiasi penyusunan RAN secara terpadu, memperkuat koordinasi lintas-institusi, memastikan SOP penanganan korban dijalankan konsisten, serta menindak tegas pelaku tanpa pandang bulu.
“Termasuk kementerian dan lembaga terkait di tingkat pusat bergerak serentak mempercepat langkah pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban, memastikan dukungan berkelanjutan bagi para korban,” ujar Johanes menjelaskan.
Catatan lain Ombudsman menemukan maladministrasi terjadi sejak tahap perencanaan, koordinasi, hingga pelaksanaan. Koordinasi antar-institusi dinilai lemah, tidak ada mekanisme terpadu untuk pencegahan, perlindungan, dan pendampingan korban, sedangkan SOP kerap diabaikan. Akibatnya, pendampingan terhadap korban secara prosedural maupun psikologis berlangsung minim.
"Setiap korban TPPO adalah bukti nyata kegagalan sistem yang seharusnya melindungi warganya. Lambannya penetapan RAN TPPO 2025 mengirim sinyal bahwa pencegahan belum menjadi prioritas. Ombudsman menuntut langkah nyata dan terukur, bukan sekadar retorika," ujar Johanes menegaskan.
Dorongan rencana aksi melawan TPPO juga disampaikan Ketua Umum Jaringan Nasional Anti TPPO, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Menurut Saraswati, RAN TPPO juga diimbangi dengan revisi Undang-Undang TPPO untuk memastikan victim-centered approach atau pendekatan yang berpusat pada korban.
"Jadi diharapkan bagaimana kita bisa hadir untuk korban dengan adanya revisi UU," ujar Rahayu Saraswati, atau akrab disapa Saras, usai menghadiri diskusi publik Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) akhir Juli 2025 lalu.
Dia menjelaskan revisi penting, karena UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO lebih menitikberatkan pada menghadirkan keadilan melalui hukuman terhadap pelaku, bukan berfokus kepada korban.
UU TPPO itu juga dinilai sudah sangat lama sehingga memerlukan revisi agar bisa mengikuti perubahan zaman. Terlebih, berbagai modus operandi dari para pelaku TPPO sudah sangat berevolusi dan berubah.
“Aturan tersebut harus menyesuaikan, terutama dari segi digital, dunia siber, serta tindak pidana seperti penipuan daring atau online scamming, dan aturan lainya,” ujar Saras menjelaskan.
Ia memastikan akan terus memperjuangkan suara-suara korban. Apa lagi banyak dari mereka membutuhkan keadilan dan itu terutama terkait hal jangka panjang.
Menurut Saras, aturan TPPO bukan hanya terkait restitusi melainkan kompensasi dari negara hingga kepastian adanya rumah pemulihan untuk para korban agar mereka bisa menjadi penyintas serta bisa hidup secara produktif dan mandiri.
Sejumlah Temuan Kasus TPPO
Sejumlah kasus dugaan TPPO sering terjadi dan berhasil digagalkan, meski diyakini masih banyak kasus serupa yang belum terbongkar. Catatan SinPo.id menunjukkan pada Barat, Sabtu, 5 Juli 2025 lalu Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Jawa Barat telah menggagalkan keberangkatan 29 Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ilegal, di Bandara Internasional Kertajati, Majalengka. Puluhan CPMI tersebut diketahui hendak berangkat ke negara-negara kawasan Timur Tengah tanpa dokumen resmi yang disyaratkan untuk bekerja di luar negeri.
Kepala BP3MI Jawa Barat, Kombes Mulya, mengatakan, sebelumnya mendapat informasi dari Imigrasi terkait adanya dugaan keberangkatan Calon PMI nonprosedural. Setelah diperiksa bersama, dugaan tersebut terbukti benar.
"Setelah kita cek bersama pihak Imigrasi, 29 orang tersebut diduga akan berangkat kerja ke Timur Tengah tanpa menggunakan visa kerja dan tidak memiliki Kartu E-PMI yang terdaftar di BP3MI Jabar," kata Mulya.
Dari jumlah tersebut, 19 orang berasal dari wilayah Jawa Barat, sementara 10 lainnya berasal dari luar provinsi. Seluruh CPMI itu kemudian dibawa ke kantor BP3MI Jabar didata dan diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk menelusuri perusahaan atau pihak yang memberangkatkan mereka.
"Untuk langkah selanjutnya, mereka akan kami bawa ke kantor BP3MI Jabar untuk pendataan dan pendalaman," kata Mulya menjelaskan.
Sedangkan Direktur PPA dan PPO Bareskrim, Brigjen Nurul Azizah mengatakan dalam waktu kurang dari setengah tahun, Polri telah menangani 189 kasus TPPO dengan 546 korban sebagian besar perempuan dan anak-anak.
"Dari total itu, perempuan dewasa sebanyak 260 orang, anak perempuan sebanyak 45 orang, laki-laki dewasa sebanyak 228 orang dan anak laki-laki sebanyak 23 orang," kata Nurul, 20 Juni 2025.
Nurul menuturkan, modus TPPO yang ditemukan beragam, namun berdasarkan Laporan Polisi, pengiriman pekerja migran Indonesia nonprosedural para korban mayoritas berasal dari Jawa Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, NTT, NTB, dan Sumatera Utara. Mereka dijanjikan akan dipekerjakan di sejumlah negara.
"Jangan mudah percaya pada iming-iming pekerjaan di luar negeri dengan gaji besar. Cek legalitas perusahaan penempatan, pastikan ada kontrak kerja yang jelas, agar hak-hak sebagai pekerja migran bisa terlindungi,” ujar Nurul mengingatkan.
Menurut Nurul, polisi tidak akan mentolerir terhadap pelaku perdagangan orang, termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
"Kami tegaskan, tidak ada toleransi bagi pelaku perdagangan orang. Siapapun yang terlibat, baik calo, orang tua, bahkan oknum pejabat akan ditindak tegas sesuai undang-undang yang berlaku,” kata Nurul menegaskan.
Selain temuan itu, Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO juga berhasil mengungkap jaringan internasional TPPO yang beroperasi di Bahrain. Catatan kepolian menyebutkan korban direkrut melalui LPK di Bandar Lampung dengan janji pekerjaan sebagai waitress dan housekeeping hotel, tetapi sesampainya di Bahrain mengalami eksploitasi.
“Para korban dijanjikan pekerjaan yang layak di luar negeri, namun kenyataannya mereka dipekerjakan tidak sesuai kontrak dan tidak mendapat upah yang dijanjikan. Ini jelas merupakan bentuk eksploitasi dan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja migran,” ujar Nurul
Polisi menetapkan tiga tersangka, SG, RH, dan NH, ditangkap atas praktik perekrutan dan pengiriman pekerja migran ilegal sejak 2022. Pengungkapan bermula dari laporan korban yang bekerja sebagai spa attendant di Bahrain.
“Jaringan ini telah mengirimkan korban sejak 2022 dengan keuntungan ratusan juta rupiah. Barang bukti yang disita meliputi paspor, visa, kontrak kerja, buku rekening, dan alat komunikasi,” ujar Nurul menjelaskan.
Pekerja Migran Non Prosedural Memunculkan TPPO
Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyebut kasus TPPO sering terjadi dari pemberangkatan pekerjaan migran secara non-prosedural atau ilegal. Hal itu mengacu temuan kementerian P2MI menyelamatkan 4.822 calon pekerja migran Indonesia yang sebelumnya diberangkatkan secara illegal.
Fakta itu menjadi alasan Menteri P2MI Abdul Kadir Karding, mengingatkan pentingnya pemahaman calon pekerja migran Indonesia (CPMI) terhadap proses migrasi antar negara yang aman dan prosedural.
"Problem pertama soal pengetahuan tentang migrasi itu sendiri di masyarakat masih sangat terbatas, sehingga mereka banyak menggunakan calo," kata Karding usai mengunjungi pusat pelatihan Nusa Daya Academy di Bandar Lampung, akhir Juli 2025.
Karding mengingatkan bahaya calo sangat nyata, terutama karena korban biasanya diberangkatkan tanpa dokumen dan keterampilan yang memadai. "Kontrak mereka lemah, bahkan ada yang tidak dikontrak. Akhirnya, mereka bisa seperti diperjualbelikan. Jangan sampai berangkat secara ilegal," ujar Karding menjelaskan.
Kementerian P2MI telah membentuk Tim Reaksi Cepat yang bertugas menangani pencegahan penempatan ilegal dan TPPO. "Masalah perlindungan ini tidak boleh hanya kementerian sendiri. Harus melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat," ujar Karding menjelaskan.
Salah satu upaya dilakukan oleh Kementerian P2MI mendorong pembentukan Desa Migrasi Emas sebagai langah perlindungan sejak dari Tingkat tempat asal. Desa dirancang sebagai basis informasi, pengawasan, dan perlindungan bagi warga yang ingin bekerja ke luar negeri.
"Karena rekrutmennya banyak dari desa, maka kami bentuk sistem dan tim di sana untuk melindungi masyarakat," katanya. (*)

