Kartini dan Politik Perempuan
sinpo - Peringatan Hari Kartini 21 april menjadi momentum penting bagi kaum perempuan Indonesia untuk kembali bangkit. Setiap peringatan Hari Kartini menjadi ruh dalam meningkatkan peran kaum hawa, baik di bidang pendidikan, ekonomi, politik, ataupun segala bidang kehidupan lainnya.
Sebagai salah satu tokoh nasional yang tercatat sebagai penggerak emansipasi wanita generasi awal di Indonesia, pemikiran-pemikiran Kartini tidak saja berbicara mengenai keadilan dan kesetaraan Gender semata. Akan tetapi, pemikiran-pemikiran Kartini juga menyangkut kebangsaan sekaligus perjuangan kemerdakaan Indonesia.
Pada zamannya, pemikiran Kartini bukanlah sesuatu yang sederhana. Sebagai perempuan Jawa yang secara kultural terikat dengan berbagai aturan dan kebudayaan, Kartini tampil dalam ranah pemikiran yang jauh melebihi zamannya, khususnya di Indonesia.
Dalam catatan sejarah Indonesia, Kartini merupakan tokoh perempuan yang menarik untuk dikaji. Kemunculannya di zaman feodalisme dan imperialisme semakin menambah daya tarik masyarakat untuk terus belajar dan mengenang jasa-jasa dari seorang Kartini, terlebih bagi kaum wanita di Indonesia.
Peringatan Hari Kartini diharapkan dapat menjadi momentum peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang sehingga dapat ikut berperan serta dalam pembangunan nasional, terutama di bidang politik. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Pasal 1945 pasal 28D yang mengatakan bahwa“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Hal ini berarti siapapun warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk berperan di bidang apapun, termasuk bidang politik.
Pasca Orde Baru, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 8 Ayat (2) berbunyi “partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan”. Ditambah dengan Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Dengan Undang-Undang tersebut, maka keterwakilan perempuan dalam konstitusi di Indonesia telah dijamin di mata hukum.
Oleh sebab itu, momentum ini sekiranya harus bisa dimanfaatkan dengan baik untuk para perempuan Indonesia agar kembali menunjukkan kiprahnya, tidak hanya dalam dunia pendidikan dan ekonomi saja, tetapi juga kiprahnya dalam dunia politik.
Paradigma “perempuan tugasnya hanya di dapur” harus segera kita akhiri. Sebab jika kita terus mengingat perjuangan dan pemikiran sang Kartini, tentu kita juga sepantasnya memiliki semangat yang sama untuk membuat Indonesia semakin merdeka dan berkemajuan. Jangan sampai, anak cucu generasi muda bangsa ini terus berpikiran konservatif dalam menempatkan Perempuan di panggung politik. Semoga pemikiran dan perjuangan Kartini bisa menular kepada kita semua, kita generasi perempuan Indonesia.Selamat Hari Kartini.
*Penulis adalah aktivis DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jakarta

