Fenomena Bendera One Piece, Pengamat: Tanda Budaya Lokal Kian Tak Diperhatikan
SinPo.id - Pengibaran bendera bajak laut Jolly Roger, simbol ikonik dari manga Jepang One Piece, di sejumlah wilayah Indonesia dinilai sebagai bentuk ekspresi keresahan masyarakat yang kreatif sekaligus mengkritik arah kebijakan pemerintah.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio menilai fenomena ini seharusnya jadi alarm bagi pejabat publik, khususnya di sektor kebudayaan.
“Ini bukan cuma soal tren Jepang, ini karena publik tidak melihat budaya lokal hadir sebagai medium ekspresi. Mereka lalu mencari simbol lain yang aman dan relatable,” ujar Hendri dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 3 Agustus 2025.
Menurut Hendri, masuknya simbol budaya asing seperti Jolly Roger secara masif mengindikasikan lemahnya komunikasi negara kepada rakyatnya. Dia menilai masyarakat menjadikan tokoh-tokoh fiksi sebagai kendaraan kritik karena merasa kanal aspirasi formal tak efektif, bahkan bisa berisiko secara hukum.
“Kalau pakai simbol budaya lokal, mereka takut salah tafsir, bisa dianggap makar atau melanggar UU ITE. Akhirnya dipilihlah simbol global yang bisa dimengerti semua orang tapi tidak terlalu membahayakan,” jelas dia.
Dia menyoroti,.absennya peran aktif Kementerian Kebudayaan dalam menjawab keresahan publik lewat pendekatan kultural membuat budaya lokal semakin kehilangan daya saing di ruang ekspresi publik.
“Mestinya Menteri Budaya yang paling dulu bertanya: kok bisa budaya luar jadi saluran ekspresi masyarakat Indonesia? Di mana budaya kita sendiri dalam narasi ini?” katanya.
Lebih jauh, Hendri menyebut pengibaran Jolly Roger tak bisa dilepaskan dari kegagalan komunikasi kebijakan pemerintah, seperti isu pajak amplop hajatan dan wacana WA berbayar, yang dinilai publik sebagai tidak sensitif terhadap realitas sosial.
“Masalahnya bukan hanya substansi kebijakannya, tapi cara bicara pejabat ke masyarakat. Terlalu sering lempar wacana tanpa arah jelas. Masyarakat capek kalau terus dijadikan alat tes reaksi,” ujarnya.
Kendati demikian, dia mengapresiasi sejumlah pejabat yang merespons fenomena ini secara tenang dan tidak represif, seperti Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Menurut Hendri, pendekatan semacam itu menunjukkan kebebasan berekspresi masih dimungkinkan selama dijalankan secara bijak dan tidak menyalahi aturan.
“Publik tahu kok batasnya, itu sebabnya mereka tetap kibarkan Merah Putih di atas. Ini bentuk kritik, tapi tetap dalam koridor nasionalisme,” tandasnya.
