Pengakuan Setengah Hati: Janji Negara Palestina di Tengah Genosida

Laporan: Tim Redaksi
Minggu, 03 Agustus 2025 | 07:55 WIB
SMART 171 menyalurkan seribu porsi makanan hangat kepada warga Gaza. (SinPo.id/SMART 171)
SMART 171 menyalurkan seribu porsi makanan hangat kepada warga Gaza. (SinPo.id/SMART 171)

SinPo.id -  Pengakuan atas negara Palestina, yang selama puluhan tahun menjadi impian rakyat di wilayah pendudukan, kini hadir kembali ke panggung politik global. Namun, alih-alih menjadi penebusan atas ketidakadilan sejarah, gelombang pengakuan dari Inggris, Prancis, dan Kanada justru menunjukkan wajah lain dari politik internasional: sinisme diplomatik, penundaan, dan syarat yang nyaris mustahil.

Pengakuan terhadap negara Palestina oleh kekuatan Barat, meski terlambat dan bersyarat, menandakan retaknya kesepakatan diam selama puluhan tahun. Namun, tanpa penghentian aliran senjata dan dukungan militer kepada Israel, pengakuan ini tak lebih dari simbolisme kosong dalam buku panjang kolonialisme modern.

Seperti yang ditulis oleh Yousef Munayyer dari Arab Center Washington: “Satu-satunya alternatif nyata untuk perdamaian abadi adalah hak yang setara bagi Israel dan Palestina dalam satu negara bersama.”

Pada 29 Juli 2025, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengumumkan rencana pengakuan resmi negara Palestina. Tapi dengan satu syarat besar: hanya jika Israel menolak gencatan senjata dengan Hamas pada bulan September. "Taruhannya" begitu gamblang kemerdekaan Palestina bukan sebagai hak, melainkan alat tawar-menawar geopolitik.

Starmer bukan satu-satunya pemimpin yang membawa nama Palestina ke meja negosiasi. Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noël Barrot secara terbuka menyatakan pengakuan terhadap Palestina di PBB, tanpa prasyarat. Sebagai negara G7 pertama yang mengambil langkah ini, Prancis mendesak Israel membuka blokade Gaza dan menghentikan agresi militernya.

Tak lama berselang, Kanada pun ikut menyatakan dukungannya—tetapi menambahkan daftar panjang syarat, termasuk reformasi internal Otoritas Palestina, pembebasan sandera Israel oleh Hamas, dan larangan Hamas dalam pemerintahan masa depan. Ironisnya, saat menyerukan negara Palestina yang “demiliterisasi”, Kanada tetap memasok senjata ke Israel.

Meski ada lonjakan dukungan diplomatik, dampaknya tak sebanding dengan krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung. Parlemen Israel terus mendorong aneksasi Tepi Barat, sementara kekerasan pemukim terhadap warga Palestina meningkat. Di Gaza, lebih dari 60.000 warga Palestina tewas sejak Oktober 2023, dalam operasi militer yang disebut PBB sebagai kemungkinan genosida.

Pengakuan terhadap Palestina mungkin bisa menambah legitimasi di PBB  147 dari 193 negara anggota telah melakukannya namun tidak akan menghentikan bom, blokade, atau kelaparan.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam keras rencana pengakuan tersebut, menyebutnya sebagai “hadiah bagi terorisme Hamas” meskipun Hamas tidak memiliki kendali di Tepi Barat, wilayah yang menjadi fokus utama upaya aneksasi Israel.

Sejarah panjang penindasan terhadap Palestina tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme Barat. Mulai dari Perjanjian Sykes-Picot 1916 hingga Mandat Inggris atas Palestina, Inggris dan sekutunya telah lama memainkan peran sebagai "arsitek perbatasan", menciptakan konflik yang masih membara hingga kini.

Pengusiran lebih dari 750.000 warga Palestina pada 1948, atau Nakba, bukan hanya sebuah tragedi kemanusiaan, tapi juga titik awal dominasi politik Israel atas wilayah yang dijanjikan kepada dua bangsa.

Retorika "solusi dua negara" yang terus diulang oleh Inggris, Kanada, dan Prancis seolah tak sejalan dengan realitas. Middle East Eye mencatat, dalam waktu tiga bulan setelah Inggris mengumumkan penghentian parsial ekspor senjata ke Israel pada 2024, negara itu tetap mengirim peralatan militer senilai $169 juta.

Sementara itu, aktivisme pro-Palestina di Inggris dibungkam. Kelompok Palestine Action dicap sebagai organisasi teroris, meskipun PBB menyatakan tindakan mereka adalah bentuk protes sah yang tidak melibatkan kekerasan terhadap manusia.

Namun, tekanan publik mulai menunjukkan hasil. Mantan pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn dan anggota parlemen Zarah Sultana mengumumkan pembentukan partai politik baru untuk menantang elit kekuasaan, termasuk kebijakan luar negeri pemerintah Inggris yang pro-Israel.

Beberapa negara Eropa kini mengambil langkah nyata. Slovenia menjadi negara pertama di Eropa yang melarang semua perdagangan senjata dengan Israel, mengutuk pelanggaran serius hukum humaniter internasional. Langkah ini disusul oleh pembatasan ekspor oleh Italia, Belgia, Spanyol, dan Belanda, serta larangan masuk terhadap dua menteri Israel oleh pemerintah Belanda.

Jerman, yang biasanya dikenal sebagai pendukung setia Israel, kini turut menyuarakan keprihatinan. Pemerintahnya menyebut jumlah bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza sebagai “sangat tidak mencukupi”, dan menuding baik Hamas maupun jaringan kriminal yang dibekingi militer Israel sebagai pelaku penjarahan bantuan.

Sementara itu, Qatar menyerukan pengawasan internasional atas fasilitas nuklir Israel, dan Chili mempertimbangkan untuk memutuskan hubungan perdagangan militer dengan Tel Aviv.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI