Trump Ultimatum Rusia: 10–12 Hari Akhiri Perang Ukraina atau Hadapi Sanksi Baru
SinPo.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan ultimatum tajam kepada Rusia, kali ini dengan memberi batas waktu baru selama 10 hingga 12 hari untuk menunjukkan kemajuan konkret dalam mengakhiri konflik berdarah di Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 3,5 tahun.
Pernyataan tersebut disampaikan Trump saat berada di Skotlandia, dalam rangkaian pertemuan dengan para pemimpin Eropa sekaligus bermain golf. Ia mengaku kecewa dengan sikap Presiden Rusia Vladimir Putin yang tak menunjukkan perkembangan berarti dalam upaya perdamaian.
"Saya akan buat tenggat waktu baru sekitar... 10 atau 12 hari sejak hari ini. Tak ada alasan menunggu lebih lama... Kami tidak melihat adanya kemajuan," ujar Trump kepada wartawan, Senin (28/7), dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Inggris Keir Starmer.
Sebelumnya, Trump sempat memberikan tenggat waktu selama 50 hari, namun kini dipersingkat drastis seiring meningkatnya frustrasi terhadap Moskow.
Trump menegaskan bahwa jika Rusia tak memenuhi tuntutannya, ia siap memberlakukan sanksi baru, termasuk kemungkinan tarif sekunder terhadap negara-negara yang masih membeli ekspor Rusia.
"Saya tidak ingin melakukan itu kepada Rusia. Saya mencintai rakyat Rusia. Tapi jika jawabannya sudah jelas, mengapa harus menunggu?" tegasnya.
Belum ada tanggapan resmi dari Kremlin atas pernyataan tersebut. Namun mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang kini menjadi sekutu dekat Putin, menuding Trump tengah memainkan "permainan ultimatum" yang berbahaya.
"Setiap ultimatum baru adalah ancaman, dan satu langkah menuju perang. Bukan hanya antara Rusia dan Ukraina, tapi juga antara Rusia dan negaranya sendiri," tulis Medvedev dalam unggahan di platform X.
Di sisi lain, pemerintahan Ukraina menyambut baik tekanan baru dari Trump. Kepala Staf Presiden Volodymyr Zelenskiy, Andriy Yermak, menyampaikan rasa terima kasih melalui media sosial.
"Terima kasih kepada Presiden Trump karena bersikap tegas dan memberikan pesan jelas: damai melalui kekuatan,"tulis Yermak.
Trump sendiri mengakui pernah memiliki hubungan baik dengan Putin, namun belakangan ini menunjukkan perubahan sikap. Ia menyampaikan kekecewaannya terhadap tindakan Rusia yang terus melancarkan serangan ke Ukraina, termasuk tragedi-serangan ke fasilitas sipil.
"Kami pikir masalah ini sudah selesai berkali-kali, lalu Putin kembali meluncurkan roket ke kota seperti Kyiv dan menewaskan banyak orang tua di panti jompo. Itu bukan cara menyelesaikan perang," ucap Trump.
Trump juga menyebut upaya diplomatiknya di kawasan lain seperti Gaza, India–Pakistan, hingga Rwanda–Kongosebagai pencapaian damai yang patut mendapat pengakuan dunia, bahkan sempat menyinggung soal nominasi Nobel Perdamaian.
Sementara itu, Ukraina sempat mengusulkan pertemuan antara Putin dan Zelenskiy sebelum akhir Agustus, namun Kremlin menyatakan pertemuan itu tak realistis kecuali sebagai langkah akhir menuju perdamaian.
Rusia pun tetap bersikukuh bahwa jika Barat ingin perdamaian sejati, mereka harus menghentikan pengiriman senjata ke Kyiv.

