Guru Besar UI: RI Harus Siapkan Perjanjian Bilateral Usai Kesepakatan Dagang dengan Trump

Laporan: Tim Redaksi
Rabu, 16 Juli 2025 | 23:51 WIB
Presiden Prabowo Subianto (SinPo.id/Tim Media)
Presiden Prabowo Subianto (SinPo.id/Tim Media)

SinPo.id - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menyoroti secara kritis kesepakatan dagang antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang diumumkan melalui media sosial. Dalam unggahannya, Trump menyebut bahwa tarif impor atas produk Indonesia diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen.

Namun, penurunan tarif itu disebut Trump datang dengan sejumlah komitmen besar dari Indonesia. Di antaranya, pembukaan penuh pangsa pasar domestik bagi produk-produk Amerika, pembelian energi senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar AS, serta pembelian 50 pesawat Boeing 777. Tak hanya itu, Trump juga menyatakan bahwa peternak dan nelayan AS kini memiliki akses penuh ke pasar Indonesia.

Hikmahanto menyebut bahwa capaian ini memang menandai kemampuan negosiasi cepat tim Indonesia yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia
membandingkan proses negosiasi ini dengan perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa, yang memakan waktu hingga satu dekade untuk mencapai tarif resiprokal.

“Terlebih, Trump tidak mengenakan tambahan tarif 10 persen kepada Indonesia karena status sebagai anggota penuh BRICS. Produk dari AS bahkan akan masuk ke Indonesia dengan tarif nol persen,” ujarnya dalam keterangan yang diterima, Rabu, 16 Juli 2025.

Meski demikian, Hikmahanto mengingatkan bahwa Indonesia kini memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang mendesak. Pertama, ia menekankan pentingnya kesepakatan ini segera dituangkan dalam bentuk perjanjian bilateral. Tanpa dokumen resmi, negara-negara anggota WTO dapat menuntut perlakuan serupa berdasarkan prinsip Most Favored Nation (MFN) sesuai Pasal 1 Ayat 1 GATT.

“Inti dari prinsip MFN adalah, jika satu negara diistimewakan, maka negara lain yang menjadi anggota WTO berhak atas perlakuan serupa—kecuali jika ada perjanjian bilateral yang mengatur,” jelasnya.

Kedua, ia menyebut perlunya penguatan pelaku usaha dalam negeri—termasuk BUMN—agar mampu bersaing dengan gempuran produk dari AS. Jika tidak, ambisi Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada energi dan pangan bisa terganggu.

Ketiga, Indonesia juga harus siap menghadapi tekanan dari negara-negara pesaing AS seperti Tiongkok dan Uni Eropa, yang mungkin akan menuntut konsesi serupa karena melihat pasar Indonesia sangat menjanjikan.

Dan yang tak kalah penting, Hikmahanto mengingatkan bahwa dominasi produk impor berpotensi mempersempit lapangan kerja domestik.

"Hal ini mengingat produk-produk dari AS akan dibuat oleh tenaga kerja AS sementara yang menyerap produk tersebut adalah konsumen Indonesia tanpa pelibatan tenaga kerja Indonesia," tandasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI