Koalisi Perempuan Indonesia Nilai UU Ciptaker Lemahkan Pekerja Wanita
sinpo, JAKARTA - Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja melalui rapat paripurna DPR pada 5 Oktober lalu tergesa-gesa.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka mengatakan hal itu dapat terlihat dari dimajukannya pelaksanaan sidang paripurna.
"Sidang paripurna sedianya dijadwalkan pelaksanaannya pada tanggal 8 atau 9 Oktober dengan jadwal agenda yang tidak menjelaskan secara spesifik tentang pembahasan UU Ciptaker," kata Mike, Minggu (11/10/2020).
Menurutnya, tak heran bila hal ini menuai reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat, kelompok buruh, petani, nelayan, mahasiswa dan kelompok perempuan dan lainnya.
Ia menuturkan, sebagai organisasi massa beranggotakan perempuan dari berbagai latar belakang, KPI memahami semangat pembentukan Undang-Undang ini.
Dirinya mengerti bahwa Undang-Undang ini digagas sebagai upaya baik untuk memperbaiki berbagai kebijakan yang selama ini tumpang tindih, serta disharmoni.
Sehingga, ia menilai implementasi pembangunan manusia, pembenahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dirasakan kurang optimal.
"Terutama menyelesaikan problem kemiskinan yang muncul dari sektor ketenagakerjaan," ungkapnya.
Namun, menurutnya, kebijakan “sapu jagad” ini seharusnya menjadi proses yang melalui banyak pemikiran dan penggalian aspirasi.
"Serta terbuka dalam hal partisipasi keberagaman kelompok masyarakat yang nantinya akan dinaungi oleh Undang-Undang ini," imbuhnya.
Akan tetapi, ia menyayangkan dalam prosesnya seperti dikebut dan meminggirkan banyaknya masukan yang datang dari berbagai elemen masyarakat.
"Terkesan meminggirkan masukan masyarakat, sejak kebijakan mulai diwacanakan baik oleh DPR RI dan Pemerintah," ucapnya.
Koalisi Perempuan Indonesia juga menyoroti dampak yang nantinya akan dialami oleh perempuan sebagai bagian dari pekerja lintas sektor.
"Perempuan petani, nelayan, professional, pelajar dan pelaku usaha menengah kecil dan lainnya berkaitan secara langsung dalam kebijakan ini," kata dia.
Ia menilai, kesulitan implementasi pengarusutamaan gender dan mendorong perspektif kesetaraan dan inklusi masih menjadi “Pekerjaan Rumah” yang besar, jauh sebelum Undang-Undang Cipta Kerja disahkan.
"Sementara berbagai informasi yang berkembang bahwa pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Cipta Kerja justru mengalami pelemahan, dibanding dengan kebijakan yang telah diatur sebelumnya," tuturnya.
Ia mencontohkan, seperti pengaturan cuti haid/melahirkan, meskipun tidak dihapus tetapi substansi tentang upah per jam menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan.
"Jika pekerja wanita menjalani cuti tersebut otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga tidak mendapatkan upah cuti," tegasnya.
Sementara, lanjutnya, kesehatan reproduksi adalah hal yang melekat dalam diri perempuan yang memengaruhi mereka dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai pekerja.
Selain itu juga terkait pengaturan waktu lembur yang diserahkan keputusanya kepada pihak perusahaan dan pemberi kerja.
"Ini berpotensi dipahami secara multi intepretasi, juga pengaturan-pengaturan lainnya yang masih simpang siur dalam masyarakat," tandasnya.

