Hadapi Tren Pelemahan Rupiah, CISFED: Pemerintah Perlu Buat Kebijakan Komprehensif

Laporan: Tio Pirnando
Rabu, 09 April 2025 | 20:16 WIB
Ilustrasi mata uang rupiah. (SinPo.id/Pixabay)
Ilustrasi mata uang rupiah. (SinPo.id/Pixabay)

SinPo.id - Peneliti Center for Islamic Studies in Finance, Economic and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni menilai, tren pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi sepekan ini, menunjukan fundamental ekonomi Indonesia masih kurang stabil. 

Menurut dia, pemerintah perlu segera membuat kebijakan ekonomi komprehensif untuk menghindari dampak negatif yang lebih parah. 

"Pemerintah perlu membuat kebijakan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk menghadapi pelemahan rupiah sekaligus untuk membangun nilai tukar rupiah yang kuat," kata Farouk kepada wartawan, Rabu, 9 April 2025. 

Untuk jangka pendek, sambung Farouk, pemerintah bisa menggunakan instrumen moneter dengan meningkatkan BI rate. Hal ini akan menarik peningkatan simpanan mata uang rupiah atau pembelian obligasi-obligasi dengan denominasi rupiah. 

"Sementara untuk jangka menengah dan panjang, dan ini yang paling penting, Indonesia perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk berinvestasi, peningkatan kapasitas industri berorientasi ekspor, maupun meningkatkan daya tarik wisata dalam negeri yang lebih baik dalam kerangka meningkatkan jumlah turis ke Indonesia, "ujarnya. 

Mantan Senior Officer Islamic Development Bank ini menambahkan, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif, yaitu kondisi birokrasi yang melayani, regulasi yang tidak mempersulit bisnis, pemberantasan korupsi, serta menciptakan kesetaraan atau kepastian hukum kepada segenap pihak. 

Sedangkan untuk pengembangan industri berorientasi ekspor, Indonesia harus memberikan insentif dan dukungan kepada industri berorientasi ekspor, seperti China terhadap industri dalam negerinya. 

"Begitu juga dengan pengembangan wisata dalam negeri, Pemerintah harus lebih pro-aktif membangun ekosistem pariwisata yang lebih baik, dengan promosi yang lebih agresif di luar negeri," jelas Wakil Rektor Universitas Binawan ini. 

Farouk menyebut, pelemahan nilai tukar saat ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya faktor internal, seperti sentimen negatif terhadap kondisi politik, ekonomi, maupun sosial, dan kondisi eksternal seperti  perang tarif yang diluncurkan Amerika Serikat, serta juga berbagai hal terkait ketidakpastian ekonomi global. 

Dalam konteks rupiah saat ini, ada beberapa faktor yang berkontribusi, seperti arus modal keluar yang ditandai dengan jatuhnya IHSG. Di mana, para investor luar negeri menjual saham yang ada di IDX, yang berarti mereka melepas rupiah dan membeli valas, lalu juga demo-demo yang dilakukan mahasiswa terkait RUU TNI juga dapat mengirimkan sinyal terkait kondisi politik yang tidak kondusif. Dan terakhir penetapan tarif oleh Amerika kepada Indonesia sebesar 32 persen. 

"Kondisi-kondisi ini menunjukkan bahwa dasar perekonomian kita lemah karena ekonomi yang mempunyai fundamental yang kuat, nilai tukar mata uangnya tidak akan mudah jatuh karena isu-isu temporal ekonomi dan politik, maupun dampak dari faktor eksternal. Kenyataannya sebenarnya sekarang ini mata uang dolar sedang jatuh dalam melawan harga emas maupun perak. Tetapi ternyata nilai tukar rupiah lebih lemah lagi ketika berhadapan dengan dolar Amerika," tukasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI