GAPPRI: Lebih Baik Kampanye Edukasi Dibanding Pembatasan Penjualan Rokok

Laporan: Tri Setyo Nugroho
Senin, 07 April 2025 | 21:07 WIB
Ilustrasi rokok (SinPo.id/ Pixabay)
Ilustrasi rokok (SinPo.id/ Pixabay)

SinPo.id - Pembatasan zona berjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dianggap tidak efektif. Dibandingkan dengan aturan restriktif, kampanye edukasi dianggap sebagai upaya lebih konkret untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. 

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyatakan, pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan yang lebih utuh, seperti mendorong upaya edukasi dibandingkan dengan pembatasan yang terlalu ketat. 

Menurutnya, edukasi yang tepat dapat memberi dampak positif yang lebih luas karena tidak hanya mengatasi gejala-gejala yang dapat timbul. Edukasi juga dinilai dapat membangun kesadaran risiko akibat merokok.
 
"Kepatuhan terhadap aturan itu menunjukkan bagian dari komitmen edukasi soal risiko merokok. Ditambah lagi, saat ini kami melakukan edukasi serta pemasangan stiker 21+ di warung atau toko penjual rokok secara masif,” kata Henry, dalam keterangannya, Senin, 7 April 2025.

Dalam menjalankan edukasi, kata Henry, perlu melibatkan institusi seperti para pengajar di satuan pendidikan. Upaya ini perlu dilakukan untuk pemahaman akan risiko merokok pada anak di bawah umur 21 tahun.

"Dengan pendekatan yang komprehensif, kami percaya bahwa upaya menekan prevalensi perokok dapat dilakukan tanpa mengorbankan nasib para pedagang," ujarnya.
 
Henry juga menyayangkan kenyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru gencar mendorong aturan pelarangan dan pembatasan penjualan rokok, seperti pengaturan terkait larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Menurut dia, aturan itu justru akan berdampak luas pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT) yang telah terbangun puluhan tahun. 

"Banyak tempat penjualan yang menyatu dengan satuan pendidikan seperti di mall tiba-tiba harus berubah. Ini akan menimbulkan gejolak ekonomi," tuturnya.
 
Lebih jauh Henry berharap ada dialog yang terbuka dengan melibatkan semua pihak, termasuk asosiasi industri, pedagang, dan petani dalam pembuatan kebijakan. Hal ini guna memastikan regulasi yang diterapkan tidak merugikan pihak yang menjadi objek pengaturan.
 
Pasalnya, IHT memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam menciptakan lapangan kerja bagi 5,8 juta tenaga kerja dari hulu ke hilir. 

"Kami akan terus melakukan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak merugikan IHT. Kami berharap, pemerintah mendengar dan membuat kebijakan yang adil kepada semua pihak yang terlibat dari IHT," tandasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI