Ketua MUI Ingatkan Zakat Fitrah Idul Fitri Simbol Kemenangan Sejati

SinPo.id - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah Muhammad Cholil Nafis menyampaikan kemenangan meraih fitrah dalam Idul Fitri tidak hanya ditandai dengan keberhasilan mengendalikan hawa nafsu, tetapi juga dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah.
Cholil menekankan akat fitrah merupakan cara efektif dalam menyambut Idul Fitri, karena mengingatkan bahwa diri dan harta yang dimiliki sejatinya adalah milik Allah SWT.
"Kemenangan meraih fitrah dengan mengalahkan belenggu hawa nafsu juga disempurnakan dengan kewajiban membuang kotoran belenggu yang disimbolkan melalui zakat fitrah. Ini cara efektif bagaimana kita menyambut Idul Fitri," katanya dalam khotbah Salat Idul Fitri 1446 Hijriah di Pesantren Cendekia Amanah, Depok, Jawa Barat pada Senin, 31 Maret 2025.
Karena, dengan zakat, jelas Cholil, baik zakat fitrah ataupun zakat harta, seluruh umat Islam akan diingatkan bahwa diri kita dan harta yang dimiliki sesungguhnya adalah milik Allah SWT.
Ia menekankan bahwa harta yang dimiliki seseorang bukan sepenuhnya miliknya, melainkan ada hak fakir miskin dan para mustahik di dalamnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya digunakan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.
"Jika kita mengerti harta adalah amanah dan berzakat dengan benar, maka (kita) tidak akan menghambur-hamburkan harta atau menyimpannya secara berlebihan, karena merasa bahwa harta itu adalah amanah dari Allah SWT yang harus ditunaikan," ujarnya.
Cholil Nafis menjelaskan bahwa zakat fitrah yang dikeluarkan sebelum shalat Idul Fitri menjadi simbol kepedulian sosial, dimana tidak boleh ada seorang pun yang kelaparan dan sedih karena kekurangan harta benda pada saat Idul Fitri.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti peran zakat sebagai sarana pemberdayaan ekonomi. Mengutip pandangan Imam Malik dalam kitab Muwaththa’, ia menegaskan bahwa zakat harus diberikan dengan tujuan membantu orang miskin mencapai kemandirian.
"Zakat itu tidak hanya berfungsi sebagai bantuan, tapi harusnya juga pemberdayaan. Imam Malik dalam kitab Muwaththa’-nya menyatakan bahwa zakat harus diberikan dengan tujuan untuk membantu orang miskin mencapai kemandirian, sehingga mereka bisa menjadi bagian dari solusi ekonomi, bukan sekadar penerima bantuan," paparnya.
Mengakhiri khotbahnya, ia mengajak umat Islam untuk menjadikan Idul Fitri sebagai momentum kembali kepada fitrah dengan meningkatkan ketakwaan dan kepedulian sosial.
"Fitrah yang sesungguhnya adalah ketika taqwanya bertambah, berarti amal salehnya meningkat, semakin menjauhkan diri dari perilaku-perilaku maksiat dan peran serta kemanusiaan lebih maksimal. Jadi, kembali ke fitrah berarti kembali mendengarkan suara hati nurani yang paling dalam yang sudah kita jernihkan dengan berpuasa," ucap Muhammad Cholil Nafis.
Tetap Memiliki Integritas
Sementara itu, Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengajak seluruh umat Islam di Indonesia untuk tetap memiliki integritas diri sebagai hasil dari ibadah Ramadan.
"Idul Fitri merupakan sebuah inaugurasi atas kesucian diri, setelah penempaan mental spiritual kita secara pribadi, menjadi pribadi dengan keimanan kuat, keyakinan kokoh, dan hati yang bersih," kata Niam dalam khotbah Shalat Idul Fitri 1446 Hijriah di halaman Masjid Baitul Hasib BPK RI, Jakarta, Senin.
Niam menyampaikan bahwa integritas diri setelah Ramadhan harus tercermin dalam tiga aspek utama, yaitu menjaga lisan, menegakkan kejujuran dan kedisiplinan, serta menjauhi hal-hal yang syubhat dan melanggar etika.
Ia menggarisbawahi pentingnya menjaga lisan, karena keselamatan seseorang sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengendalikan ucapan. Dalam konteks digital, hal ini juga berarti berhati-hati dalam menyebarkan informasi di media sosial agar tidak terjebak dalam hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian.
"Keselamatan seseorang sangat bergantung pada kemampuannya menjaga lisan," ungkapnya.
Selain menjaga lisan, Niam menekankan komitmen terhadap kejujuran. Menurutnya, kejujuran adalah fondasi utama dalam membangun kepercayaan dan kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat, dimana ibadah puasa melatih kejujuran seseorang, karena hanya Allah dan dirinya yang mengetahui kesungguhan ibadah tersebut.
"Kejujuran adalah kunci kepercayaan. Tanpa kejujuran, kita kehilangan fondasi utama dalam membangun kehidupan yang bermartabat," ujarnya.
Niam juga menyoroti pentingnya sikap wara’, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang syubhat atau meragukan. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap ini dapat diterapkan dalam konsumsi makanan dengan memastikan kehalalan produk serta dalam pengambilan keputusan yang menghindari ketidakpastian dan pelanggaran etika.
Ia juga mengingatkan bahwa Idul Fitri bukan sekadar momen kemenangan, tetapi juga titik tolak untuk mempertahankan kualitas diri yang telah dibentuk selama Ramadhan.
"Komitmen integritas diri kita diuji, sejauh mana kemauan, kemampuan, dan keberanian kita untuk mengakui kesalahan, bertaubat, dan kemudian memberi maaf kepada orang lain, sekalipun orang lain tidak memintanya," ujarnya.
Dengan berakhirnya bulan Ramadhan, Niam berharap nilai-nilai yang telah ditanamkan selama sebulan penuh dapat terus dijaga dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.