Temukan Kejanggalan LHKPN, Haidar Alwi Minta KPK Turun Tangan

SinPo.id - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menemukan kejanggalan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) anggota DPR RI Deddy Sitorus.
"Ada dugaan kepemilikan barang branded yang tidak dilaporkan dalam LHKPN Deddy Sitorus antara tahun 2019 sampai 2024," kata Haidar Alwi dalam keterangannya, Senin, 17 Maret 2025.
Dugaan itu muncul setelah tim Haidar mengaku menemukan beberapa foto istri politikus PDIP menggunakan koleksi tas disinyalir branded. Mulai dari Bvlgari Serpenti, Balenciaga Neo Classic, Christian Dior Gold hingga Burberry, yang harganya ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.
Berdasarkan ketentuan KPK, substansi harta yang dilaporkan dalam LHKPN mencakup milik suami, istri dan anak dalam tanggungan. Koleksi tas seharusnya dicatat pada pos "Harta Bergerak Lainnya".
"Namun dalam LHKPN Deddy Sitorus yang diunggah KPK, harta bergerak lainnya jumlahnya tercatat nihil. Baik dalam LHKPN 2019, 2020, 2021, 2022 maupun 2023," katanya.
Oleh karena itu, dirinya meminta agar KPK memanggil Deddy Sitorus untuk mengklarifikasi, memeriksa atau mendalami LHKPN yang bersangkutan. Sesuai dengan peran LHKPN sebagai salah satu instrumen pencegahan sekaligus pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Tidak tertutup kemungkinan ada koleksi tas atau bahkan barang-barang branded lainnya yang tidak dilaporkan Deddy Sitorus dalam LHKPN miliknya. Jadi, sebaiknya KPK panggil dan periksa," tuturnya.
Terlebih, kata Haidar Alwi, meskipun sudah dibantah, Deddy Sitorus pernah dilaporkan ke KPK dan Kortas Tipidkor Polri atas dugaan tindak pidana korupsi dan atau gratifikasi terkait penyewaan helikopter untuk kampanye yang disebut pelapor mencapai tiga miliar lebih.
Pada Pemilu 2019, Deddy Sitorus menjadi caleg PDIP dengan jumlah dana kampanye paling besar di angka Rp4,831 miliar.
"Pertanyaannya, itu diperoleh dari mana? Kalau dari penghasilan istri, berarti penghasilan istrinya per bulan Rp234 juta. Ditambah pengeluaran suami-istri dan 3 anak selama lima tahun. Kalau dari usaha perusahaan misalnya, nyatanya dalam LHKPN kepemilikan surat berharganya nihil. Hitung aja. Coba pikir wajar atau tidak?" pungkasnya.