Kasus Firli Bahuri, Suparji: SP3 Jadi Langkah Logis

Laporan: Tim Redaksi
Minggu, 05 Januari 2025 | 00:10 WIB
Mantan Ketua KPK Firli Bahuri (ICW)
Mantan Ketua KPK Firli Bahuri (ICW)

SinPo.id -  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH, MH, menilai pengembalian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas dugaan pemerasan oleh mantan Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Sahrul Yasin Limpo (SYL) oleh jaksa peneliti di Kejati DKI Jakarta menunjukkan kegagalan penyidik Polda Metro Jaya (PMJ) dalam melengkapi alat bukti sesuai petunjuk jaksa.

Suparji menyarankan agar penyidik PMJ menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tidak cukupnya alat bukti materiil dalam perkara tersebut.

“Jika alat bukti tidak mencukupi, maka perkara ini harus dihentikan,” ujar Prof. Suparji kepada wartawan di Jakarta, Sabtu 4 Januari 2025.

Menurutnya, ada tiga alasan diterbitkannya SP3: tidak cukup alat bukti, bukan merupakan peristiwa pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum karena kadaluarsa atau tersangkanya meninggal dunia. Dalam kasus ini, jika alat bukti tidak mencukupi, maka penghentian perkara adalah konsekuensi logis.

Pengembalian SPDP oleh jaksa menunjukkan bahwa tidak ada kelanjutan dari petunjuk sebelumnya, yang membuat jaksa enggan terbebani kasus tersebut. Hal ini juga mencerminkan lambannya pemenuhan petunjuk jaksa oleh penyidik.

“Jaksa tidak akan mengambil risiko membawa perkara ke persidangan tanpa alat bukti yang cukup, karena hal itu dapat merusak reputasi mereka dan bertentangan dengan rasa keadilan,” tambahnya.

Prof. Suparji menjelaskan, proses hukum harus didasari alat bukti yang berkualitas dan sesuai dengan kenyataan. Fakta dalam proses hukum tidak bisa direkayasa, tetapi harus berdasarkan alat bukti yang konkret, seperti saksi, surat, atau petunjuk yang mendukung peristiwa pidana.

“Dalam dugaan suap atau gratifikasi, harus ada bukti materiil yang memenuhi unsur pidana, seperti saksi yang melihat, mendengar, atau mengetahui secara langsung, serta bukti waktu dan tempat kejadian,” jelasnya.

Ketidakmampuan penyidik PMJ menemukan alat bukti yang kuat menjadi alasan jaksa mengembalikan berkas perkara ini. Menurut Prof. Suparji, perkara ini seharusnya sederhana jika alat bukti benar-benar ada.

“Alat bukti itu tidak dicari, tetapi ditemukan. Alat bukti harus nyata dan tidak bisa dikondisikan,” tutup Prof. Suparji.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI