korupsi tata niaga komoditas timah

Melawan Putusan Ringan Harvey Moeis

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 03 Januari 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

Vonis rendah terhadap Harvey Moeis merupakan subjektifitas Majelis Hakim. Presiden Prabowo Subianto menilai vonis rendah itu melukai rasa keadilan masyarakat.

SinPo.id -  Kejaksaan Agung mengajukan banding atas putusan 6,5 tahun terhadap koruptor tata niaga timah, Harvey Moeis.  Vonis hakim itu dinilai terlalu ringan dari tuntutan Jaksa yang menuntut agar Harvey dihukum 12 tahun penjara. Sedangkan nilai kerugian korupsi yang dilakukan Harvei dan kawan-kawannya mencapai Rp300 triliun.

Tuntutan dalam memori banding JPU terhadap Harvey tetap sama yang diajukan di pengadilan tingkat pertama, yakni 12 tahun. "Tuntutanya sama seperti tingkat pertama. Yang diuji dalam sidang banding hanya putusan pengadilan tingkat pertama, bukan buat tuntutan baru," ujar Ketua Komisi Kejaksaan, Pujiyono Suwadi, Rabu, 1 Januari 2025.

Sebelumnya JPU menuntut Harvey dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Tipikor dan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ke-1 KUHP.

Aturan tersebut memungkinkan seorang koruptor dijatuhi hukuman pidana penjara sampai seumur hidup. Namun, ketentuan lamanya masa penjara selain seumur hidup yang diatur berdasarkan pasal penjerat Harvey adalah paling lama 20 tahun.

Sedangkan suara publik agar Harvey dihukum berat semakin menyeruak usai Presiden Prabowo Subianto mengatakan terdakwa korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun seharusnya dihukum sampai 50 tahun.

Melawan Subyektivitas Hakim

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI, Harli Siregar menilai, vonis rendah yang dijatuhkan terhadap Harvey Moeis merupakan subjektifitas Majelis Hakim.

Ia pengacu pengajuan alat bukti yang sudah dibeberkan oleh Jaksa Penuntut Umum saat sidang dianggapnya sudah sangat berkaitan dengan olah Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah. Selain itu, Harli menyebut saat sidang tuntutan, Jaksa meminta agar Harvey dijatuhi hukuman 12 tahun.

"Hanya saja pertimbangannya (Hakim) mengatakan tuntutan itu terlalu tinggi, jadi ada subjektivitas di situ. Kalau dari sisi substansi tidak masalah," kata Harli Selasa, akhir tahun lalu.

Harli juga menyinggung adanya wewenang dari pihak lain terkait vonis rendah terhadap Harvey Moeis, termasuk wewenang dimiliki pengadilan. Menurut Harli sistem peradilan terpadu di Indonesia memiliki berbagai kompartemen meliputi kamar penyidikan, kamar penuntut umum, kamar pengadilan, dan kamar permasyarakatan.

Dengan begitu ia menghimbau agar publik turut mempertanyakan soal vonis yang dijatuhkan terhadap Harvey Moeis.  "Jadi, saya kira pertanyaan-pertanyaan ini juga harus disampaikan kepada kompartemen yang lain, supaya kalau pun kita berada di kamar-kamar tapi kalau kamar-kamar itu berkolaborasi dan bersinergi saya kira apa yang menjadi komitmen bersama bisa tercapai,"  ujar Harli menegaskan.

Tercatat sebelum memutus vonis ringan terhadap Harvey Moeis, Hakim menganggap tuntutan 12 tahun terhadap suami snadra dewi itu terlalu berat. Hal itu dismapaikan hakim saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 23 Desember 2024.

"Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun kepada terdakwa Harvey Moeis, Majelis hakim mempertimbangkan tuntutan pidana penjara tersebut terlalu berat," kata Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto.

Hakim Eko menyebut, saat di persidangan Harvey hanya membantu Suparta selaku Direktur PT Refined Bangka Tin dalam kerjasama dengan PT Timah Tbk. "Karena terdakwa memiliki pengalaman mengelola usaha tambang batu bara di Kalimantan," kata Eko.

Menurut dia, Harvey bukan pembuat keputusan kerjasama antara PT Timah Tbk dan PT RBT serta dinilai tidak mengetahui administrasi dari keuangan di kedua perusahaan tersebut. "Bahwa dengan keadaan tersebut terdakwa tidak berperan besar dalam hubungan kerja sama peleburan timah antara PT timah TBK dan PT RBT maupun dengan para pengusaha smelter peleburan timah lainnya yang menjalin kerja sama dengan PT timah TBK," kata Eko menjelaskan.

Hakim berpandangan hukuman pidana yang sebelumnya dijatuhkan oleh Jaksa dalam tuntutannya harus dikurangi. Pengurangan hukuman itu bahkan bukan berlaku hanya untuk Harvey, tapi juga dua terdakwa lain yakni Suparta dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.

Alasannya fakta persidangan diketahui bahwa PT RBT bukan merupakan penambang ilegal yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah. Perusahaan smelter swasta itu dianggap Hakim memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sendiri dalam menjalankan bisnis timahnya.

Menjadi Perhatian Presiden dan Parlemen

Presiden Prabowo Subianto menyentil vonis rendah terhadap kasus korupsi yang merugikan negara ratusan triliun. Ia menilai vonis rendah itu melukai rasa keadilan di masyarakat dan mengimbau para hakim untuk berbenah. 

“Kalau sudah jelas menyebabkan kerugian, terutama hakim-hakim, vonisnya jangan terlalu ringan lah. Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi, tetapi rakyat itu mengerti, rakyat di pinggir jalan ngerti, rampok ratusan triliun, vonisnya kok [hanya] sekian tahun,”ujar Prabowo saat berpidato di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2025 di gedung Bappenas, Senin, 30 Desember 2024.

Dalam pernyataannya presiden secara tegas meminta agar Jaksa mengajukan banding. “Jaksa agung! Naik banding tidak kau? Naik banding ya? Vonisnya ya 50 tahun gitu kira-kira ya,” ujar Prabowo menegaskan.

Prabowo mengingatkan agar pejabat publik untuk berbenah terkait tinggi kasus korupsi dan kerugian negara. Ia minta agar para pejabat pemerintahan dan aparat harus berbenah diri dan menyadari kesalahan yang ada selama ini.

“Rakyat kita itu bukan rakyat yang bisa dibohongi terus. Sudah jelas kerugian ratusan triliun vonisnya segitu. Ini melukai rasa keadilan. Ada yang curi ayam dihukum berat. Dipukuli,” katanya.

Sedangkan Politikus Partai Demokrat Yan Harahap, menyatakan vonis 6,5 tahun penjara Harvey Moeis menghina akal sehat. Hukuman itu sangat tidak layak terhadap Harvey mengingat kasus korupsi timah telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.

"Jika ditanya apakah hukuman itu dianggap layak dan tepat, tentu menurut saya sangat tidak layak dan sangat tidak tepat," kata Yan.

Ia memandang, vonis terhadap Harvey itu memperlihatkan Indonesia pantas disebut surga para koruptor selama ini. "Sungguh amat menghina akal sehat," ujar Yan menambahkan.

Menurut Yan korupsi sudah sangat jelas dinyatakan sebagai  extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa yang berdampak luas dan sistematis, serta menimbulkan kerugian negara secara masif. Ia menyayangkan putusan hakim terhadap Harvey Moeis tidak menunjukkan perbuatannya extra ordinary crime. Apalagi kejahatan yang dilakukan Harvey Moeis dan kawan-kawan benar-benar berdampak besar bagi lingkungan dan masa depan kehidupan.

Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menilai vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis kabar buruk bagi keadilan di Indonesia. "Putusan itu kabar buruk bagi keadilan. Bagaimana mungkin kerugian negara sebesar Rp300 triliun hanya dihargai dengan hukuman 6,5 tahun penjara?" kata Hinca.

Menurut dia, praktik culas yang dilakukan Harvey merupakan salah satu kejahatan destruktif yang dampaknya tidak hanya menghantam ekonomi tapi juga merusak lingkungan dan melukai rakyat.

"Timah Bangka Belitung, yang seharusnya menjadi berkah bagi daerah, justru menjadi kutukan. Korupsi ini bukan sekadar mencuri uang, ini mencuri masa depan," ujar Hinca.

Harvey Moeis Pengumpul Uang Saweran Dari Penambang Liar

Harvey Moeis bersama belasan orang lain menjadi tersangka kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 hingga 2022.  Ia diduga menerima uang dari perusahaan swasta yang terlibat pengakomodiran kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk. Uang saweran dari sejumlah perusahaan swasta itu diterima Moeis melalui PT QSE yang diduga memfasilitasi aliran dana.

Moeis juga berperan sebagai perpanjangan tangan dari PT RBT, ia disebut menghubungi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016 hingga 2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku Direktur Utama PT Timah 2016 hingga 2011. Belakangan Mochtar lebih dulu menjadi tersangka, ia membahas soal pengakomodiran kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

"Tersangka HM menginstruksikan kepada para pemilik smelter tersebut untuk mengeluarkan keuntungan bagi tersangka sendiri, maupun para tersangka lain yang telah ditahan sebelumnya,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kuntadi, akhir  Maret 2024 lalu.

Uang keuntungan itu dikeluarkan dengan dalih dana corporate social responsibility (CSR) kepada tersangka Harvey Moeis melalui PT QSE yang difasilitasi oleh tersangka lain, yakni Helena Lim (HLN) selaku manajer PT QSE.

Sedangkan catatan penyidik Jaksa Agung menyebutkan, antara 2018 hingga 2019, Harvey Moeis menghubungi Direktur Utama PT Timah yaitu saudara Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) dalam rangka mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

"Yang bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT RBT, namun bukan sebagai pengurus PT RBT," kata Kutnadi menjelaskan.

Saweran dari sejumlah perusahaan tambang timah illegal itu disepakati sebagai kegiatan mengakomodir pertambangan liar yang dikamuflasekan dengan kerja sama sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

"Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud," katanya.

Kejagung berpeluang menjerat suami dari artis Sandra Dewi, Harvey Moeis dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Penggunaan pasal TPPU merupakan hal dasar yang akan diterapkan kepada seluruh tersangka kasus dugaan korupsi.

"Dalam setiap penanganan perkara korupsi kami selalu menelusuri juga potensi adanya TPPU sehingga itu sudah menjadi protap kami," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum, Kejagung Ketut Sumedana.

Ia menyebut nilai kerugian ekologis dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp271 Triliun, berdasarkan hasil perhitungan dari ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo. Dalam kasus itu Kejagung juga menetapkan Helena Lim yang selama ini dikenal sebagai crazy rich asal PIK menjadi tersangka TPPU.

Kejagung juga bakal menyita seluruh aset milik Harvey Moeis dan orang di sekitarnya jika terindikasi aliran uang korupsi. "Sepanjang barang-barang tersebut ada kaitannya, menjadi alat atau merupakan hasil kejahatan, pasti akan kami lakukan penyitaan," katanya.  (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI