Klenteng Sam Poo Kong, Bukti Awal Kehadiran Warga Tionghoa di Kota Semarang
Sekitar abad ke-15 terjadi imigrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Nusantara bersama rombongan kapal Laksamana Cheng Ho. Pendatang Tionghoa yang berlayar bersama rombongan kapal Laksamana Cheng Ho datang dari provinsi Selatan sebagian mendarat di bukit Simongan dan menetap di sana.
SinPo.id - Kawasan perbukitan Simongan di wilayah Semarang Barat, Kota Semarang, terlihat jelas dengan mata telanjang jika dilihat dari jalan Simongan yang melintas beriringan dengan alur sungai Kaligarang. Tepat di sisi timur Bukit Simongan berdiri megah Klenteng Sam Poo Kong atau dikenal oleh warga sekitar dengan nama Gedong Batu yang berdiri megah sejak abad ke 15.
Kawasan itu menjadi titik awal pemukiman etnis Tionghoa di Semarang. Stephen Skinner dalam Feng Shui : Ilmu Tata Letak Tanah dan Kehidupan Cina Kuno Semarang, menyebutkan kondisi Bukit Simongan dan Gedung Batu pada abad ke-15 berupa muara kali Semarang dan Bandar.
“Berdasarkan Feng Shui, lokasi tersebut sangat ideal sebagai pemukiman, karena dilatarbelakangi gunung atau bukit yang menghadap ke arah sungai atau laut,” tulis Stephen.
Ia memperkirakan sekitar abad ke-15 terjadi imigrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Nusantara bersama rombongan kapal Laksamana Cheng Ho.
Sedangkan Radjimo Sastro Wijoyo dalam bukunya Pemukiman Rakyat di Semarang Abad XX, menyebut pendatang Tionghoa yang berlayar bersama rombongan kapal Laksamana Cheng Ho datang dari provinsi selatan. “Beberapa dari mereka singgah di daerah Simongan dan Gedong Batu,” tulis Radjimo.
Menurut Radjimo, kehadiran Awak Kapal Cheng Ho Pendiri Pemukiman Tionghoa di Simongan terkait pelayaran besar Laksmana Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. Dalam perjalanan itu tentunya tak selalu berjalan mulus, termasuk banyaknya awak kapal dan besarnya armada laut yang dibawa membuat pelayaran terhenti sejenak.
Kondisi beberapa awak yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng Ho tak menentu, bahkan E Setiawan, Kwa Tong Hai dan Teguh Setiawan, dalam bukunya Mengenal Kelenteng Sam Poo Kong menuliskan ada beberapa awak kapal yang terpaksa turun ke darat karena sakit.
“Mereka butuh perawatan sementara untuk memulihkan kondisi fisik, sebelum melanjutkan perjalanan laut meuju ke arah timur Laut Jawa,” tulis buku Mengenal Kelenteng Sam Poo Kong.
Catatan E Setiawan menyebutkan seorang juru mudi kapal Laksamana Cheng Ho bernama Ong King Hong terpaksa dibawa ke darat oleh beberapa pengikutnya. “Ong King Hong saat itu dibawa ke Semarang karena sakit,” tulis buku tersebut lebih lanjut.
Namun Cheng Ho melanjutkan perjalanan ke arah Timur menuju Surabaya kemudian ke Gersik beserta armadanya yang berlayar ke arah barat. Ong King Hong adalah orang kedua dalam armada tersebut. Pada saat itu ia menderita sakit keras dan harus diobati. Oleh sebab itu Cheng Ho memerintahkan beberapa awak kapal untuk turun ke darat di daerah Buyaran.
Karena kondisi Buyaran dirasa kurang baik, Ong King Hong berserta rombongan menyusuri sungai menggunakan kapal hingga ke Simongan untuk merawat Ong King Hong. Setelah itu Cheng Ho melanjutkan perjalanan ke barat.
“Cheng ho juga berpesan setelah Ong King Hong sembuh ia diminta segara menyusul. Namun setelah sembuh Ong King Hong tidak kembali ke Negeri Tiongkok dan memilih tinggal di Semarang,”tulis setiawan.
Ong king Hong dan pengikutnya menikah dengan wanita setempat serta membentuk komunitas dan membangun rumah ibadah yang sekarang adalah Kelenteng Sam Poo Kong.
Klenteng Sam Poo Kong Dulu Hingga Kini
Keberadaan Klenteng Sam Poo Kong yang terletak di kaki Bukit Simongan dan tepi Kali Garang itu tak semegah seperti sekarang. De Graaf, dalam bukunya Muslim Cina di Jawa Abad 15 dan 16, menyebut Klenteng Sam Poo Kong awalnya hanya bangunan sederhana serta terdapat masjid. Lokasi tersebut banyak diziarahi peranakan Tionghoa maupun muslim Jawa kala itu.
“Setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, banyak keturunan Tionghoa di Semarang datang untuk bersembahyang,” tulis De Graaf..
M Ikshan Tanggok dalam Jurnal Al-Turas menyebutkan, setiap malam Jumat kliwon, masyarakat Jawa dan muslim di sekitar Semarang dan daerah lain juga datang ke Kelenteng Sam Poo Kong. Selain masjid, di sekitar klenteng terdapat gua yang berisi patung Cheng Ho.
Gua tersebut pernah runtuh dan memakan korban jiwa. Peristiwa itu ditulis oleh Kong Yuanzhi dalam Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Tepatnya pada 1704, gua yang sering disebut Gua Batu atau Gedong Batoe runtuh akibat angin ribut dan hujan lebat.
Peristiwa itu menyebabkan sepasang pengantin tewas tertimbun ketika sedang pemujaan di dalam gua. Namun 20 tahun kemudian, tepatnya pada 1724, gua tersebut digali dan dipulihkan seperti semula.
Sedangkan catatan Liem Thian Joe dalam Riwayat Semarang, pada tahun yang sama diadakan upacara sembayang besar-besaran oleh warga Tionghoa di Semarang. Sembahyangan itu sebagai bentuk syukur, lantaran masyarakat Tionghoa di Semarang tidak mendapat gangguan apa pun dan usaha mereka bertambah maju. Tak hanya sebagai wujud syukur, dalam pelaksanaan upacara besar itu masyarakat juga mengumpulkan dana untuk memperbaiki Klenteng Sam Poo Kong.
Upaya penyempurnaan bangunan di depan gua dengan mendirikan tempat istirahat dan bagi masyarakat usai sembahyang. Kondisi Klenteng Sam Poo Kong pada awal abad 20 tepatnya 1904, nampak semakin elok. Beberapa titik seperti tempat sembahyang sudah berpagar dan memiliki atap. Hal itu terdokumentasikan dalam kartu pos bergambar yang dikeluarkan oleh Van Dorp and Co Semarang-Soerabaja 1904.
Sebelum kemerdekaan pada 1920, gerbang Klenteng Sam Poo Kong hingga tempat untuk jangkar juru mudi dibenahi lebih baik. Kondisi tersebut termuat dalam koleksi foto lawas KTLV Leiden berjudul Gedong Batoe Temples te Semarang dan Anker Van Djoeroemoedi Dampoe-Awang, Gedong Batoe te Semarang 1920.
Kini, Klenteng Sam Poo Kong berubah pesat tak lagi sama seperti dulu. Bangunan kokoh dan pagar beton mengelilingi lokasi Klenteng Sam Poo Kong. Bekas gua juga masih dipertahankan oleh pengurus Klenteng Sam Poo Kong, bahkan altar yang ada nampak megah dengan pilar-pilar kuat.
Ketua Yayasan Klenteng Sam Poo Kong, Mulyadi mengatakan, tak hanya gua namun sumber air yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa di abad 18 hingga kini juga masih terjaga. Mulyadi juga menyebut di Kawasan itu juga ada makam muslim hingga masjid di Klenteng Sam Poo Kong.
"Ada tiga bangunan utama di Klenteng Sam Poo, dua bangunan dijaga oleh orang Tionghoa dan satu bangunan dijaga oleh juru kunci," kata Mulyadi.
Sejumlah catatan menyebutkan makam muslim itu merupakan juru mudi kapal ekspedisi Sam Poo Kong. Makam serupa juga mirip di makam Cheng Ho di Niushoushan, Kota Nanjing, Provinsi Jiangsu.
"Cheng Ho dimakamkan secara muslim namun di komplek pemakaman Budha terbesar di Tiongkok. Hal tersebut memang unik, namun memang begitu adanya," ujar Mulyadi menjelaskan.
Menurut Mulyadi, Cheng Ho adalah muslim namun ia mengabdi pada raja yang menganut Kong Hu Chu. Setelah menyelesaikan misi kerjaan dan meninggal ia dikembalikan ke keluarganya yang menganut muslim. Pihak keluarga akhirnya minta pemakaman Cheng Ho dilakukan secara muslim.
"Karena jasanya, kerjaan menuruti permintaan keluarga. Alhasil Cheng Ho dimakamkan secara muslim di Niushoushan. Dari fakta tersebut toleransi sudah berjalan secara baik di masa itu," katanya.