Pusham UII Minta Pengangkatan Hakim Ad Hoc KY Dilakukan Transparan

Laporan: Vera
Minggu, 19 September 2021 | 17:27 WIB
Komisi Yudisial/Ist
Komisi Yudisial/Ist

SinPo.id - Mahkamah Konstitusi (MK) tengah melakukan pengujian terhadap salah satu kewenangan Komisi Yudisial, yaitu dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc. 

Berdasarkan Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia beranggapan bahwa pasal tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya dan bertentangan dengan Pasal 24 B ayat (1) dan 28 D ayat (1) UUD N RI Tahun 1945. Terhadap kondisi ini, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) yang selama ini banyak melakukan pendampingan dan advokasi penguatan kekuasan kehakiman di Indonesia, memberikan catatan.
 
“Pertama, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Komisi Yudisial lahir sebagai kehendak politik untuk mengembalikan marwah insitusi peradilan (Mahkamah Agung dan Pengadilan di bawahnya) pasca keruntuhannya di bawah bayang-bayang pemerintahan orde baru. Komisi Yudisial hadir untuk meneguhkan kembali independensi dan akuntabilitas peradilan melalui fungsi kontrol dan rekrutmen hakim dalam rumpun kekuasaan yudikatif,” ujar Direktur PUSHAM UII Eko Riyadi, Minggu (19/9).

Oleh karena itu, lanjut dia, tidak dapat dinafikan, Komisi Yudisial merupakan organ negara yang didesain untuk menangani sistem rekrutmen hakim (judicial recruitment) yang dulunya dinilai bermasalah. 

“Keberadaan KY hari ini, tentu bukan tanpa catatan, tapi peranannya dalam penguatan kekuasaan kehakiman cukup signifikan. Senada dengan itu, maka jika mendengarkan apa yang disuarakan oleh dunia akademis dan masyarakat sipil hari ini adalah mengkuatkan lebih lanjut kewenangan KY yang masih terkesan sumbing, bukan justeru mengurangi,” terang Eko.

Kedua, lanjut dia, terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi dan mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung harus melihat pada konsepsi yang lebih makro. 

UUD sendiri memang tidak menyatakan dengan tersurat kewenangan KY untuk mengangkat hakim ad hoc, namun juga harus dipahami bahwa UUD juga tidak melarang KY untuk memiliki kewenangan tersebut. 

“Artinya, kondisi ini menjadi open legal policy atau diserahkan kepada kehendak pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Terhadap ketentuan open legal policy ini, sebagai mana pendapat MK dalam Putusan No. 43/PUU-XIII/2015 bahwa MK sebagai lembaga yudikatif negara memang boleh melakukan pengujian yudisial (materil maupun formil) terhadap Undang- Undang tetapi tidak boleh membatalkan isi Undang-Undang yang tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan UUD,” papar Eko.

Artinya, lanjut dia, MK tidak boleh membatalkan UU yang berdasarkan pada open legal policy pembuatnya. Harus pula diperhatikan bahwa hakim ad hod di Mahkamah Agung berbeda dengan hakim ad hoc di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. 

“Hakim ad hoc di Mahkamah Agung adalah hakim yang bertugas di Mahkamah Agung, mereka duduk bersama dalam satu majelis dengan hakim (Mahkamah) Agung dalam menyelesaikan perkara-perkara yang bersifat khusus,” kata Eko.

Oleh karena itu, lanjut dia, pada prinsipnya, hakim ad hoc di Mahkamah Agung sama dengan hakim agung. Dengan demikian, karena hakim agung menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD diusulkan oleh Komisi Yudisial, maka hakim ad hoc di Mahkamah Agung pun, harus diusulkan oleh Komisi Yudisial. 

“Oleh karena memperlakukan berbeda, dua hal yang memiliki substansi sama, tidak saja mengacaukan sistem ketatanegaraan, namun juga melahirkan ketidak adilan. Keadilan adalah salah satu ruh dari martabat kemanusiaan yang harus diutamakan. Hal ini konsisten dengan pertimbangan MK dalam Putusan No. 32/PUU-XII/2014,” terang Eko.

Ketiga, lanjut dia, terkait dengan kelembagaan KY sebagai organ penunjang (auxiliary organ) kekuasaan kehakiman, di mana Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai organ utamanya (main organ), sebagaimana menjadi pegangan banyak pihak termasuk pemohon. 

Logika tersebut sebenarnya secara tekstual tidak ada dalam UUD N RI Tahun 1945, konsep tersebut lahir dari interpretasi para akademisi dalam membaca naskah UUD, karena memang Pasal 24 ayat (2) UUD menyatakan Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 

Namun demikian, sekalipun KY diposisikan sebagai auxiliary organ, atau bukan organ kekuasaan kehakiman utama, tidak berarti KY menjadi tidak berwenang mengusulkan hakim ad hoc di Mahkamah Agung. 

Karena jika logika ini dipakai sebagai alasan bahwa karena bukan pelaku kekuasaan kehakiman maka, logika seharusnya adalah KY bukan hanya tidak berwenang dalam seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung, namun juga harus dikatakan tidak berwenang dalam pengusulan hakim agung. 

Padahal, kata Eko, kewenangan ini merupakan tugas utama KY sebagaimana yang ditentukan dalam UUD N RI Tahun 1945. Artinya, diposisikan sebagai apapun Komisi Yudisial, tidak relevan dengan kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA.

“Keempat, jika kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc ini tidak diberikan kepada Komisi Yudisial, maka pertanyaannya adalah lalu lembaga negara mana yang akan mengusulkannya? Jika kewenangan pengusulan pengangkatan ini diberikan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana permohonan pemohon, maka hal ini tidak tepat karena akan memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest),” ucap Eko.

Hakim ad hoc akan duduk bersama dalam satu majelis dengan hakim agung di Mahkamah Agung dalam perkara yang mereka tangani, tidak mungkin suatu lembaga menunjuk sendiri subjek yang akan menjalankan lembaga tersebut.

Terhadap beberapa catatan tersebut, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) mengeluarkan rekomendasi.

“Pertama, karena proses seleksi hakim ad hoc yang selama ini dilakukan oleh Komisi Yudisial berbasis pada sistem yang lebih kompeten, kompetitif, transparan, dan akuntabel, maka kewenangan pengusulan pengangkatan hakim ad hoc selayaknya tetap dipertahankan menjadi kewenangan Komisi Yudisial,” ucap Eko.

Kedua, lanjut dia, memperhatikan realitas dunia peradilan di Indonesia, maka kedudukan dan kewenangan komisi yudisial perlu dipertegas dan diperluas, baik melalui amandemen UUD maupun perubahan UU.

“Ketiga, kepada Mahkamah Konstitusi, berdasarkan argumentasi sebelumnya, permohonan JR terhadap Pasal 13 huruf a UU Komisi Yudisial sangat lemah, tidak beralasan, dan layak untuk ditolak,” jelas Eko.sinpo

Komentar: