Legislator Golkar Usul Ada UU Khusus Atur Platform Digital
SinPo.id - Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja mengusulkan adanya Undang-Undang (UU) tersendiri yang mengatur platform digital layanan over the top (OTT) seperti Netflix, TikTok, hingga YouTube. Payung hukum terkait platform digital itu harus terpisah dengan UU tentang Penyiaran.
Demikian disampaikan Abraham dalam forum legislasi yang digagas Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bertajuk 'Menjawab Tantangan Era Digital Lewat Rancangan Undang-Undang Penyiaran'.
Menurut dia, RUU Penyiaran yang sudah digagas lebih dari satu dekade lalu tidak lagi memadai karena tidak mencakup platform digital hingga OTT. Sehingga, menciptakan kekosongan hukum dan ketimpangan pengawasan antara media konvensional dan digital.
"Terjadi kekosongan hukum. TV konvensional merasa hanya mereka yang diawasi, sementara platform digital tidak" kata Abraham di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025.
Legislator dari Fraksi Partai Golkar itu menilai bahwa definisi 'penyiaran' dalam RUU perlu dipertajam agar tidak menimbulkan kerancuan dalam praktik pengawasan. Menurut dia, RUU Penyiaran yang berfokus pada siaran melalui gelombang radio, harus terpisah dengan konten digital yang perlu diatur tersendiri.
"Kalau semua digabung, KPI akan jadi super power. Maka OTT sebaiknya diatur dalam UU lain. Di Amerika, misalnya, ada FCC untuk TV konvensional dan lembaga lain untuk OTT," katanya.
Abraham pun mengingatkan revisi UU Penyiaran harus menghindari tumpang tindih kewenangan antara lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Digital di bawah Kominfo Digital (Komdigi).
Menurutnya, pengaturan yang serampangan berpotensi menciptakan konflik antar-lembaga serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum.
Di sisi lain, dia juga menyampaikan bahwa masyarakat resah terhadap konten vulgar di platform digital yang tidak tersentuh sensor. Menurut dia, penanganan hal tersebut tetap harus mengedepankan kerangka hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih.
"Kalau mau dimasukkan, harus jelas sejak awal. Judulnya juga harus berubah, misalnya jadi 'RUU Penyiaran dan Konten Digital'. Kalau tidak, ini akan menimbulkan konflik kewenangan," kata dia.
